Seperti juga bagi Anda, hal-hal yang luput dari pandangan orang, kalian mengambilnya. Bukan mengambil yang bukan hak, tapi mengambil yang tak dipikirkan orang-orang. Ini bukan perkara nganggur, orang tak mengambilnya karena mereka sudah atau mungkin disibukkan oleh dunia masing-masing. Apakah ada orang yang memikirkan masalah lantai? Perihal garis start pada olahraga atletik? Perhitungan yang benar? Kalaupun ada, tapi sedikit. Dari sedikit itu saya ingin berpartisipasi, membuat saya ingin memikirkan, menelaah, mempelajari dan menginformasikan ketika sudah menemukan keterangan, saya berikan kepada Anda.
Kalau kita lihat dalam olahraga atletik-lari marathon, lari cepat, lomba berjalan lambat-pasti akan menemukan perhitungan. Di awal permulaan hal semacam itu timbul. Meskipun perhitungannya tak sampai ratusan, ribuan, bahkan puluhan. Satu..dua..tiga! lariii. Itu maksud saya.
Saya memperkarakannya bukan dilihat dari urutan benar atau tidaknya setelah satu itu dua, sehabis dua itu tiga, sedemikian seterusnya. Bukan, tapi masalah kedisiplinan dalam memberlakukan suatu peraturan. Pastinya, sebelum melakukan lomba, Pelari akan diberitahukan apa-apa yang harus ditaati, dipatuhi dan punishment ketika melanggarnya. Peraturan dibuat agar semuanya terlibat, dan adil ketika berlomba. Gunanya menghilangkan perbuatan curang untuk kemenangan, meskipun aspek itu masih ada.
Satu..dua..tiga! kita kembali ke masalah itu. Sebelum meninggalkan garis start pada lomba lari, pelari akan kumpul dan berbaris sesuai dengan posisinya. Wasit akan bicara, “setelah hitungan ketiga, pertandingan ini dimulai”. Itu masalahnya. Kebanyakan kalau kita lihat ketika sang wasit berteriak “Satu..dua..tiga!” sang pelari dengan gagahnya masih dalam posisi siap, bukan posisi lari. Coba deh resapi benar atau tidak perkataan saya, saya yakin itu benar. Ada jeda sebentar yang membuat larinya pelari itu tertunda. Terkadang ada bunyi letupan senapan-bukan Revolver yah-setelah bunyi tiga.
Jadi, pelari itu berlari bukan ketika bunyi urutan sampai tiga, atau setelah bunyi tiga. Yang dilakukan olehnya menunggu habisnya bunyi letupan senapan, setelah itu mereka lari. Hal ini merupakan kekeliruan dalam rule of the game jagad atletik. Pelari tak menaati hitungan wasit, hingga terlambat sepersekian detik menuju garis akhir. Saya tidak tahu apakah mengabaikan wasit berarti melanggar kesepakatan peraturan yang berlaku? Kalau memang tidak, syukurlah. Kalau benar melanggar, dan pelari itu menjadi nomor satu. Gelarnya bisa dicabut. Semoga Usain Bolt tidak.
Kadang ada hal lucu dari seruan Satu..dua..tiga..lari!. Dalam lomba lari marathon, berjejer beberapa pelari yang di depannya terdapat nomor urutan yang dikenakan bagi si pelari. Kita katakan urutannya satu sampai sepuluh. Ketika wasit berteriak “Satu..dua..tiga..lari!”. Pelari nomor urut empat sampai sepuluh tak beranjak dari garis start, dan wasitpun bicara “kenapa kalian tidak lari, seperti yang nomor satu sampai tiga lakukan?”. Pelari nomor lima menjawab, “loh, bukannya Anda menyuruh pelari satu sampai tiga saja yang lari?”. Sang wasit melongo dan bertanya kembali saking bingungnya, “koq gitu?”. Dibalas dengan nada santai oleh pelari lain, “yaiyalah kita tidak beranjak, wong bapak ngomongnya Satu..dua..tiga..lari!, bukan dilanjutkan empat seterusnya sampai pelari kesepuluh yang lari, kita kan ada sepuluh pelari, masak bapak menyebutkan sampai tiga, kita tidak, wajar kalau kita tidak lari”. Tampang bersalah menyeliputi wajah sang wasit.
Berlanjut masalah lift, memang tidak nyambung-dari problematik hitungan pelari mampir ke lift-tapi masih terhubung. Ketika dalam lift di setiap fakultas kampus UIN Jakarta, sebelah kanan atau kiri terlihat tombol ‘G’, ‘2’, ‘3’, seterusnya sampai ‘7’. Tertegun melihatnya. Tombol angka ‘1’ tidak ada, kemanakah ia? Klo kita lihat lift-lift di sekitar Mall, Hotel dan semacamnya. Urutan tombolnya benar. Kalau memulai dari ‘G’, setelahnya tombol ‘1’, ‘2’ dan seterusnya. Bukan langsung ke ‘2’ setelah ‘G’. Terjadi kekeliruan dan inkonsistensi pada perhitungan tombol lift di fakultas kita. Sengaja atau tidak, saya kurang tahu. Yang jelas, menurut saya keliru.
Istilah ground (G) pada tombol lift-yang saya tahu-sebenarnya diletakkan paling dekat dengan tanah, atau sebelum melangkah ke lantai awal biasanya tombol ‘G’ muncul sebelum nomor ‘1’, ‘2’, demikian seterusnya. Yang saya permasalahkan kenapa tidak urut dan meniadakan ‘1’ setelah ‘G’. Kalau memang mau benar, masukan ‘1’ setelah ‘G’, karena lantai ‘1’ bukan dasar. Keadaan dimana dikatakan ‘1’ ketika sudah menaiki atau ingin ke arah atas dari lantai dasar. Dan yang kita anggap tombol lantai ‘2’ di UIN sebenarnya lantai ‘1’. Baiknya harus diganti agar tak menjadi kebingungan. Kalau memang pandangan kalian lantai ‘1’ berada pada daerah dekat tanah, atau paling dasar, tombol ‘G’ dihapus, digantikan ‘1’ dan berurutan sampai lantai atas. Understand?
Kesadaran kita akan kekeliruan yang kecil, kadang luput dari pandangan kita. Baiknya kita jangan “kalah mata” melihat kejadian seperti itu atau yang sejenis. Kekeliruan kadang menjadi sebuah kebiasaan hingga menjadi baku dan melekat begitu saja dikehidupan kita. Kekeliruan angka, huruf, menamakan sesuatu yang bukan substansinya sering terjadi. Seperti kita menaiki mobil bus yang pake tiket, halte dan punya jalur sendiri itu loh. Kita sering menyebutnya “Bus Way” bukan “Bus TransJakarta” atau “Bus Rapid Transit”. Kalau kita sebut Bus Way berarti jalan bis, terjemahan Indonesianya begitu. Aneh, lucu memang masyarakat kita. Dasar manusia Indonesia. Saya hanya bisa mengeluh. “Cape deh!”.
0 comments:
Post a Comment