Asem! Waktu begitu cepat, apa anggapan aku yang keliru, melihat waktu berlalu tanpa meminta dulu kepadaku untuk izin. Seminal mungkin menyapa “hei Hasan, aku mau berganti waktu, siap-siap”. Terlalu berleha-leha atas semuanya, aku tak mau jadi orang yang merugi. Apalagi bangkrut gara-gara waktu. “Ayo cepat, terlambat 10 menit, cepetan ke kampus!” ucapku dalam hati.
Bangun tidur tampak begitu lesu tak ubahnya wajah kumal, bekam dan sedikit berlumuran kotoran air mata, menempel di pojok kanan dan kiri mataku, tampak begitu cair hingga tisu putih terbesit noktah warna hitam kecil melekat di sekitarnya.
Aku tak ingin, tak mau namaku terpampang kembali di standing banner depan jurusan tekhnik informasi, berdiri tegak memanjang, membuat mata seseorang tertuju kepadanya. Hasan Budi Prasetyo itu namaku, di atasnya tertulis; “mahasiswa di atas semester 12 harap menyelesaikan studinya paling lambat satu semester”. “Mampus”, kataku. Itu beban.
Cepat-cepat tanpa berpikir panjang dari bangunya mata ini di pagi hari, menuju toilet yang penuh dengan wangi aroma-sedikit-tak sedap ciri khas habitat laki-laki lasut. Sikat gigi berpasta mengkilat ku gosok-gosok disekitar gigiku yang banyak berlubang hingga membuat peluang beberapa binatang-binatang kecil bisa menjalar kemana-mana disekitar mulut. Sayangnya, masih bisa terkendali sampai tak ada yang berani menjalar di sekitar gigi berlobangku.
Badan bekas olahraga semalam penuh dengan daki-daki yang melekat tebal di bagian tubuhku, terutama badan bagian belakang. Tak peduli, biarkan saja daki-daki itu masih menempel bak lem karet, melekat. Hingga perlu tenaga penuh untuk menghilangkannya, tapi tak peduli, bodoh amat. Yang terpenting, secepat mungkin aku keluar dari toilet yang punya aroma wangi tak sedap itu.
Bukan wangi tak sedap saja aku berkelebat keluar dari toilet, ini masalah waktu, aku tidak ingin membuangnya hanya dengan berlamaan di dalamnya.
Terlambat 10 menit sebelum masuk toilet Ujian Tengah Semester (UTS) 13 menjadi beban, tingkat akhir semesterku sekarang ini, sekali terlambat tidak ubahnya kemunduran waktu, penundaan waktu untuk keluar secara terhormat dari kampus ini.
Segala upaya aku meminimalisir keterlambatan agar bisa masuk kelas UTS dan menyelesaikan soal dengan waktu yang cukup lama. Ahh, go go go. Keluar dari toilet, pakaian kemarin sengaja ku gunakan, bau baju tercampur keringat basah muncul dari ketiak-ketiak dan bau badan tidak membuatku minder. Kuteruskan. Saking buru-buru mengejar keterlambatan, gubrak, secara tak sengaja aku terpeleset akibat percikakan air yang tak kusudahi setelah mandi, masih menetes di atas lantai, membuatku terjatuh.
Sialan! Ada saja cobaan yang menghadang, berbagai hal membuat keterlambatan ini menjadi bertambah. Sulit untuk dihindari, seolah-olah ada yang membuatku seperti ini, terlambat bangun, terpeleset, lupa pasang alarm. Manusia memang tak berkehendak, tidak punya daya upaya membantah, menerima nasib seperti itu. Disini kuasa Tuhan menunjukkan diri.
Bodoh amat, dengan memakai baju bekas kemarin, rambut sengaja dibiarkan tak tersisir rapih, semrawutan, semuanya tak ku urus, tidak ada waktu untuk narsis depan cermin datar yang terpampang berdiri di dinding kamarku.
Berdandan? ahh, tak jadi soal. Dari pada membuang waktu lagi. Pekerjaan itu ku urungkan, biarkan sehari ini penampilanku sedikit slengean, semrawutan, hanya bersandang pakaian kemarin dan sepatu tebal khusus naik gunung, saking terburu-burunya, sampai-sampai tali sepatu lupa ku ikatkan, hingga ponsel genggam layar touch screen ikut lupa terbawa. Terobos saja, berjalan cepat-cepat dan terburu-buru, mengejar waktu, mengurangi keterlambatan masuk kelas UTS.
Dag dig dug dag dig dug bunyi detak jantung bertransformasi menjadi lebih cepat, tidak seimbang seperti dalam keadaan normal. Huuuff, keringat bercucuran, serasa lebih cepat dengan berjalan seperti itu hingga sampailah di gerbang pintu masuk kampus. Na’as, fakultasku berada dipojok, paling ujung lokasi kampus, perkara itu belum selesai, masih banyak jalan terjal berliku, kelas UTS sekarang berada di paling atas gedung fakultas, lantai tujuh, lantai terakhir, 704, dekat toilet.
Napasku tersendak-sendak, kuraba kantong celana sebelah kanan, tak ada barang, kantong sebelah kiri, sama. Kucari-cari sambil berjalan di semua kantong dan dalam tas, tetap. Tidak ada satupun barang bentuk kotak. Sekelebat ingatanku pulih, jancuk! Ponsel tertinggal di kamar. Aduuuh, ada-ada saja. Aku takut ada yang kirim pesan, melihat jadwal, ruang, waktu kuliah. Untung saja ruang kelas dan jam kuliah masih teringat. Jadi, tak masalah untukku.
Tiba depan fakultas langsung masuk lobi menunggu turunnya lift, apes, sial, Shiit. Lift bergerak ke atas bukan kebawah, kalau menunggu berasa lama. Hingga aku berinisiatif menerjang, melangkah dan berlari menaiki tangga yang berputar-putar-tak karauan-menuju lantai tujuh.
Cucuran keringat bertambah, bajuku basah. Nafas lagi-lagi tersendat, terlalu cepat, hingga ku upayakan berhenti sejenak. Untuk merebahkan badan, melepaskan otot-otot tegang. Mengumpulkan kembali nafas yang terbuang cepat, oksigen banyak yang keluar layaknya berdiam diri rebahan di bawah pohon. Nyatanya hanya sekejap, untuk mengejar waktu, ku kejar kembali dengan berlari. Sesampainya di lantai tujuh depan kelas kejadian di luar prediksi sangat menyesalkan buatku, menusuk hati, membuat hati ini menjadi remuk dan segumpalan amarah memuncak penuh syahwat. Kata-kata umpatan keluar dari mulutku ini, sialan, brengsek, bedebah, kurang ajar. Sambil masih mendengar ocehan dari teman-teman mahasisawa junior ku yang ngebacot:
“Emang abang ga bawa ponsel, aku kan smsin semuanya ke anak-anak kalau Pa Jauhari itu g masuk dan UTSnya di undur minggu depan”. Tampang lesuh kemusuh ku dapatkan saat itu juga. Kampret!
0 comments:
Post a Comment