Berpuluh-puluh huruf, kata, tinta hitam percetakan sekitar kampus. Semuanya tidak bercecer, termaktub dalam kertas hasil pembongkahan, pembongkaran, ekploitasi dan eksplorasi yang dijadikan wadah tempat tinta hitam tadi.
Kertas yang sudah diproses sedemikian rupa, bermacam bentuk variannya. A4, A5, bentuk legal, letter. Kesemuannya bisa dilihat dalam size (ukuran) untuk kategori kebutuhan penulis yang berkonsultasi dengan penerbit.
Yap! Buku, kitab, menjadikannya rujukan, bacaan, lektur bagi pencari informasi, ilmu, yang sekarang kita bahas. Adalah penting bagi kita untuk memilikinya, tanpa tinta, tanpa isi, inti, esensi dari sebuah buku. Kita tak bisa berbuat apa. Takkan bisa mendengar ilmuwan berbicara apa, tidak mungkin berbicara tanpa membaca, sangat meragukan beragama tanpa panduan lengkap dan keterangan jelas seorang ulama yang lagi-lagi perkara itu bisa kita ambil bukan dari orangnya saja, hasil karyapun perlu untuk kita jadikan pegangan.
Memang rasanya sulit, mula-mula untuk kita mempunyai rangsangan membaca. Meskipun sudah banyak disediakan, di perpustakaan sekolah, kampus, nasional atau toko-toko penjajah buku itu. Gratis atau tidak. Mahal atau murah. Sedikitpun tak bisa berbuat banyak agar orang mau membaca.
Gunanya bazar buku dalam kampus ialah baik. Syahdan, sebagai penyedia, pemberi wadah bagi kita untuk dimudahkan dalam hal “membeli”. Tidak disulitkannya kita untuk “mencari” buku yang sulit ditemukan, buku yang tidak diterbitkan kembali oleh penerbit, kadang hal itu bisa didapatkan bazar buku.
Ada bisnis memang. Tak bisa tidak kita memungkirinya. Tapi yang ditawarkan penjual bukan melihat dari segi profit, tapi benefit juga. Bukan melulu bicara nilai tukar, nilai pakai jua. Jadi yang diuntungkan, yang mendapatkan manfaat ada dua, tiga bahkan lebih. Contoh, pihak pertama (penjual); keuntungan, pelanggan, pangsa pasar, manfaat. Bagi pihak kedua (pembeli); tentunya manfaat, ilmu, pengetahuan, akses mudah. Pihak ketiga (penyedia tempat); duit sewa, rokok, kopi, uang keamanan dan uang-uang dari hal-hal yang berkaitan kelancaran usaha setempat.
Jelas sekali, elaborasi, afiliasi memberikan manfaat beberapa pihak. Kita diuntungkan akan hal itu, tersedianya tempat buku. Namun, kesemuannya hanya semu kalau rangsangan membaca, daya keintelektualan manusia hanya sebatas melihat, lalu pergi. Tanpa membeli atau mampir membaca setidak-tidaknya begitu. Moga saja libido membaca manusia kita, manusia Indonesia-kata Mochtar Lubis-memiliki penetrasi tinggi akan hal itu. Agar tak tertinggal, agar tak ditipu, agar bisa mengetahui apa-apa yang tak terlihat dari semua pengetahuan yang tersembunyi dalam kegelapan yang seolah-olah tertutup dalam tempurung, tanpa kita membuka tempurung itu niscaya kita seperti hidup dalam jaman kejahiliyaan. Semoga tak begitu.
0 comments:
Post a Comment