Saat mata ini masih terpejam dan suasana sekitar
begitu nestapa hingga nyamuk yang hadirpun terasa malu untuk menggigit,
menyedot darah-darah daging yang katanya terbuat dari tanah itu. Bukan kenapa
nyamuk itu pergi, kabur dalam komunalnya masing-masing. Mereka menjauh karena
malam yang hadir telah pulang, meredup seakan-akan bohlam lampu yang habis masa
terangnya.
Tiba-tiba matahari datang selambat-lambatnya dari
fajar, yang, menyingsing kerinduan akan perubahan, rumput-rumputpun basah,
setitik demi setitik lalu pudar kala matahari mulai memanas dan menyingsing
bersinar sampai batas dada orang dewasa. Saat itulah binatang penyedot darah
manusia-yang terbuat dari tanah-itu pulang, mungkin tidur saat manusia bangun.
Dan waktu itulah aku bangun dengan putih mata yang masih memerah, sedikit, ada
kotoran hinggap dipojokkan.
Pagi begitu sejuk, fajar begitu asyik. Dan
suasana sekitarlah pendukung kesejukan itu. Hampir tertinggalnya panggilan
Tuhan, tertundanya ibadah penyembahan kemesraan pencipta bumi, langit beserta
isinya.
Tertunda karena terlalu larut dalam dunia
unreality yang abstraksi tanpa bergerak secara sengajanya bongkahan-bongkahan
tubuh yang menyatu itu. Aku larut, tersudut pada batas alam yang tak 'ku sadari
membuat waktu melihat mentari hilang diterpa waktu. Gugur sudah.
Lantas tiba-tiba di belahan ruang bumi yang lain
nyamuk-nyamuk menjerit tak berkesudahan. Aku bertanya? Pergi kemana para nyamuk
itu? Hidup mereka seperti apa dengan datangnya pagi, dengan malam yang mulai
menjauh? Apakah mereka masih bisa survive dan melek mata lalu tetap
menyantap hidangan daging manusia di waktu siang dan sore harinya? Tak ada yang
menjawab. Karena aku bertanya kepada mereka, bukan kepada manusia. Ahh,
seandainya aku bisa seperti Sulaiman
AS yang tahu suara dan bahasa
semut di gorong-gorong tanah, lubang tanah yang dilewati telapak kaki gajah
besar. Jika aku diberikan kemampuan berbahasa bahasa hewan, tentu aku tahu
kemauannya, kecintaannya, kesedihan yang menghinggapnya, dan tahu apa saja yang
mereka tidak suka dari manusia.
Nyamuk! Kemana mereka pergi saat matahari ada.
Apakah hidupmu seperti kelelawar yang hidup di malam hari dan siangnya tidur?
Atau hanya sebagian yang tidur dan beberapa masih terjaga karena makananmu tak
ada yang lain kecuali darah, darah, dan darah manusia. Manusia sebagai pakan
dan rasa kantuk manusia sebagai umpanmu. Bergerak atau tidaknya manusia kau
tetap menyedotnya, meminum darah manusia saat masih hidup atau jangan-jangan
saat manusia matipun kau juga melakukan hal itu karena sewajarnya manusia mati
bukan hanya kehilangan ruh tapi masih ada tubuh dan jeroan-jeroan yang ada pada
diri tubuh manusia meski darah-darahnya tak bergerak, cuma jantung sebagai
pemompa tidak bisa berfungsi siaga kala manusia hidup.
Ini umpan buatmu, ini makanan untukmu.
Darah-darah segar ataupun kotor masih siap sedia buatmu saat siang atau malam
beberapa manusia masih melek, dan sebagian lagi tidur saat matahari ada sampai
batas waktu senja. Kau tak perlu khawatir. Manusia masih ada, manusia masih
berada. Tinggal kau cari sambil mencacipun boleh, untuk kau sedot darahnya,
untuk melemahkan metabolisme tubuhnya. Jadilah kau tetap hidup, kuasa di dunia
ini sambil juga kau harus nikmati beban mati yang siap-siap menghadang saat
manusia kesal dengan nyamuk yang trengginas, rakus akan darah-darah manusia.
Hai nyamuk, ini waktumu untuk bisa bertahan hidup sambil terbang ke sisi-sisi
hidup manusia yang kotor, dalam kesuciannya, ataupun dalam waktu tidurnya. Kita
sama-sama membagi kenikmatan di dunia ini.
Senin, 20 Februari 2012
0 comments:
Post a Comment