Friday, January 20, 2012

Trip


Jika ada undangan yang begitu penting dan kebetulan tidak mengganggu aktivitas lainnya saya pasti akan datang, jika undangan tersebut berbarengan dengan aktivitas saya maka undangan itu bisa saya tunda, atau bila perlu tidak menghadirinya. Tapi itu belum selesai, saya harus melihat siapa yang mengundang; orang yang menurut saya penting, pemanggil biasa, temannya teman, atau orang tua saya. Pilihan terkahir saya tidak bisa menolak, saya patuh akan perintahnya, jikalaupun undangan darinya posisi saya sedang sibuk atau tidak bisa diganggu dengan berbagai macam aktivitas, saya tetap menghadiri, meskipun tidak tepat jadwal.

Kamis pagi saya mendapatkan pesan singkat, “Cepat pulang hari ini, soalnya besok pembuatan e-KTP, jadwal terakhir”. Pesan singkat dari Ayah saya. Badan bergetar, pikiran bingung, disuruh pulang secepatnya. Mana mendadak lagi, duitpun tinggal beberapa, hanya cukup untuk makan hari itu dan sangat kurang bilamana untuk ongkos pulang ke Indramayu.

Terpaksa ngutang!

Untungnya saya dapat, Rp 100 ribu dari seorang teman lama yang jarang bertemu tapi, terkadang, saat momen tertentu kita berbaik-baik hati, makan bareng, diskusi, tawa canda, merancang strategi kapan keluar dari kampus dengan kepala tegak sambil berfoto memakai baju Toga. Tapi tentu berhutang sama temanpun perlu adanya agunan (jaminan). Tidak seberapa dari nilai pinjaman saya, tapi barangnya sulit dicari; buku Nietsczhe: Also Sprach Zharathustra-kemungkinan seperti itu tulisannya.

Belum selesai masih ada PR sebelum pulang, mencari Ketua Kajur saya yang cantik dan murah hati, khusus yang kedua tergantung mood beliau. Hanya untuk mendapatkan tanda tangan pengesahan judul proposal skripsi yang jauh-jauh hari saya buat dengan mendarah-darah, beberapa malam suntuk yang hanya ditemanai rokok dan kopi serta berbagai macam referensi pendukung proposal tadi. Alhamdulillah, proposal tadi disetujui juga dengan meminta saran terlebih dahulu kepada Sekretaris Jurusan; Ibu Yessi yang manis perangainya dan baik hatinya, kataku.

Dalam perjalanan pulang dari fakultas, saya mampir terlebih dahulu di KOPMA, hendak pamit kepada seseorang, bagiku, seperti bidadari penyelamat-maaf tak sebutkan nama. Sambil berbicara sebentar dan dia sedang mengerjakan data pendukung laporan pertanggungjawabannya sebagai pengurus.

Adzan dzuhur berkumandang, saatnya pulang sambil packaging barang-barang bawaan yang selayaknya dibawa pulang serta tak lupa; pakaian kotor.

Tepat jam 1.30 PM Bagian Barat Waktu Indonesia saya menunggu mobil metro mini, kalau saja yang kutunggu adalah Bis, saya akan bernyanyi dalam hati dengan sedikit perubahan kata sekolah menjadi metromini, berikut syairnya:

Metromini yang kutunggu-kutunggu tiada yang datang
Kutelah lama berdiri-berdiri, menanti-nanti
…. “lanjutkan sendiri syairnya”
(Koes Plus-Bis Sekolah)

Memang terasa kesal menunggu itu, bukan karena membuang waktunya, tetapi itulah kawan, yang datangnya lama sekali datang. Astaghfirullah... Aku menggumam dalam hati. Benar saja, sekian lama menunggu hampir dua jam, mobil metro mini 512 yang setengah bagus chasing, body, dan mesinnya itu, tidak pernah mau menjemput saya di Halte UIN Jakarta menuju terminal Pulogadung.

Mungkin Anda bertanya, kenapa tidak menggunakan Bis lain? Ke Lebak Buluskan bisa, kenapa mesti jauh-jauh ke Pulogadung? Ada bis lain di Ciputat juga menuju Indramayu? Kenapa tidak naik dari Blok M kemudian berlanjut ke Pulogadung? Kenapa? Mengapa? Bagaimana Anda bisa seperti itu? Maumu apa sebenarnya Syauqi?

Pertanyaan seperti dalam mencari berita, 5W+1H tanpa unsur tadi, berita bukan dikatakan berita hanya sekedar peristiwa yang menceriitakan secercah informasi bukan kekayaan data dan fakta dan layak diinformasikan dengan nilai-nilai tertentu yang disyaratkan.

Arrgh, sumpung kataku pertanyaan seperti itu. Saya anggap wajar pertanyaan-pertanyaan tadi, Anda sekalian tidak tahu, jadi saya angap wajar saja.

Saya jelaskan, untuk menghemat biaya naik dari Pulogadung lebih murah, bedanya hampir 15 ribu dibandingkan dari Lebak Bulus atau Ciputat, meskipun kelas ekonomi tapi bis disana bebas, enak, sedikit nyaman, meski dibarengi dengan lalu lalang pedagang asongan yang menjajakan barang dagangannya dengan silat lidah yang mantap dan bisa meluluhkan konsumen di bis. Terus, penumpang bis disana tidak begitu neko-neko, Anda merokok, tidur, ngopi, kaki berselonjor, nongkrong di tempat duduk tidak ada yang melarang, disamping terjamin keamanannya-karena yang punya adalah The King of Street pantura setelah Bis Luragung, juga bis dari pulogadung melewati pas depan rumah saya yang biasanya bis-bis rute Jakarta-Pekalongan dan sebaliknya, Jakarta-Kuningan yang begitu juga sebaliknya tidak melewati Karangampel dimana itu adalah daerah saya, bis-bis tadi kebanyakan mampir melalui Jatibarang dan Palimanan. Di daerah Celeng adalah batas pembeda pemotong jalan bis-bis dari-selain-Pulogadung.

Selanjutnya saya akan kisahkan perjalanan melewati Karawang, Subang, dan sepanjang Pantura dimana lika-liku inspirasi lagu Remang-remang berawal dari situ.

Kalau Anda keluar dari Tol Cikampek, yang Anda lalui awalnya kabupaten Karawang dan setelahnya Subang. Tepat setelah melewati gapura perbatasan dan jika Anda melintasi pada pukul 21.00 malam akan  terlihat jelas di daerah Patok Besi, Subang, tempat para wanita yang dalam keadaan tertentu memperkenalkan tubuhnya dengan menor dan dibaluti make up tebal serta pakaian yang memikat orang yang memandang, sekali mengumbar rayuan: ”Mas, mampir dulu sini, dijamin terbuai lemas”, dua tiga pria dijamah.

Saya hanya melintas, tidak mampir, karena hanya melintas jadi persepsi saya tentang wanita-wanita tadi tidak bisa dikatakan benar secara keseluruhan, adapun jika benar, itu hanya kebetulan. Benar berarti bisa sungguh-sungguh benar atau benar karena kebetulan, tetapi betul tidak seluruhnya benar, karena betul hanya kebetulan belaka dan masih harus dicari kebenarannya dengan seksama sebelum menyimpulkan suatu dampak dari apa yang terjadi setelah dianalisis terlebih dahulu secara ketat.

Katakan saja wanita tadi: pelayan pria. Saya tidak berani menyebutnya pelacur. Pelacur dikatakan menjual diri secara sengaja karena meraih suatu sebab-sebab tertentu untuk kepentingan pribadinya dengan melakukan tindakan-tindakan di luar keseharian kita yang biasa-biasa saja dalam pergolakan hidupnya guna meraih apa yang menjadi tujuannya. Lantas kata apa yang tepat buat wanita tadi? Pelacur tidak pas. Anda ini bagaimana Qi?

Saya tidak akan begitu detail membahasnya, persilahkan massalah kata itu kepada ahli etimologi.

Di Patok Besi, dengan dandanan yang seksi dan mempertontonkan bagian atas yang menonjol kepunyaan si wanita dan paha mulus tampak terlihat jelas diantara mereka. Asap rokok, minuman beralkohol setia menemani diantara pelayan pria dan pria yang berkebutuhan seks. Masalah ini jangan dikaitkan dengan agama, kita tinjau dari perspektif sosiologi budaya masyarakat sekitar dan dihubungkan dengan variabel lain seperti; ekonomi, sosial, kebutuhan mendesak, lapanagn pekerjaan dsb.

Saya merasa tertegun hatinya melihat kejadian tadi, meskipun dalam kaca mata yang jauh-dalam arti saya hanya melintas bukan mampir-yang dalam kaidah penelitian menjadi kurang afdhol kalau kita tidak meneliti secara detail dengan kaidah kualitatif yang berujung pada observasi, wawancara dan terjun ke lapangannya langsung, sangatlah kurang. Itupun belum selesai jika sampel, data, populasi tidak memenuhi pengujian tertentu. Saya hanya berhipotesis bukan menyimpulkan dengan memberikan sebuah pernyataan bahwa pelayan pria tadi amoral.

Pelayan pria bukan bedebah, jadah atau kata umpatan yang kotor buatnya. Dia terpaksa dan dipaksa, bukan atas keinginan luhur, kenapa begitu? Tanyakan kepada mereka, pasti jawabannya sama ketika ada pertanyaan: apakah dalam hati kecil Anda mau bekerja seperti itu? Serempak pasti menjawab: tidak!

Mereka hanya ingin bertahan hidup, mereka ingin menghidupi anak, sanak saudara dan orang-orang yang ditanggung kebutuhan hidupnya olehnya. Dengan jarangnya lapangan pekerjaan yang membuka lowongan baginya dan selektifnya pemilihan pekerjaan di negara ini membuat mereka mengambil jalan lain dari kita. Menjual diri secara terpaksa. Katerampilan tidak punya, kualitas menjadi seoroang pendaftar lowongan pekerjaan tidak mencukupi, lantas apa yang dijual kecuali tubuh, tubuh, tubuh. Biar badan menggigil setiap hari, biar tubuh ringkih dinaikin beberapa pria bertubuh kekar, dia tetap tidak mengeluh untuk mencari sambungan hidup syukur-syukur dari kegiatannya bisa menyambung hidup barang satu-dua hari berikutnya.

Adalah pekerjaan ini lebih baik dari mengkorup uang yang bukan menjadi bagian darinya.

Dengan hanya beberapa menit mata saya terus beranjak, menengok, melintas ke bagian tempat tadi. Setelahnya tiba-tiba hilang karena mata memandang daerah lain dengan laju bis yang cukup cepat.

Saya hanya mampu bertutur sampai sini saja, saya tidak ingin kejadian yang saya alami diketahui oleh orang banyak dalam perjalan pulang kerumahnya. Cukup sampai disini, cukup dengan berakhir cerita tentang pelayan pria.

Dan seketika juga saya menghilang dari para pembaca tulisan ini.

Jum’at 20 Januari 2012

0 comments:

Post a Comment