Jika ada undangan yang
begitu penting dan kebetulan tidak mengganggu aktivitas lainnya saya
pasti akan datang,
jika undangan tersebut berbarengan dengan aktivitas saya maka undangan itu bisa
saya tunda, atau bila perlu tidak menghadirinya. Tapi itu
belum selesai, saya harus melihat siapa yang mengundang; orang yang menurut
saya penting, pemanggil biasa, temannya teman,
atau orang tua saya. Pilihan terkahir saya tidak bisa menolak, saya patuh akan
perintahnya, jikalaupun undangan darinya posisi saya sedang sibuk atau tidak
bisa diganggu dengan berbagai macam aktivitas, saya tetap menghadiri, meskipun
tidak tepat jadwal.
Kamis pagi saya
mendapatkan pesan singkat, “Cepat pulang hari ini, soalnya besok pembuatan
e-KTP, jadwal terakhir”. Pesan singkat dari
Ayah saya. Badan bergetar, pikiran bingung, disuruh pulang secepatnya. Mana
mendadak lagi, duitpun tinggal beberapa, hanya cukup untuk makan hari itu dan
sangat kurang bilamana untuk ongkos pulang ke Indramayu.
Terpaksa ngutang!
Untungnya saya dapat, Rp
100 ribu dari seorang teman lama yang jarang bertemu tapi, terkadang, saat
momen tertentu kita berbaik-baik hati, makan bareng, diskusi, tawa canda,
merancang strategi kapan keluar dari kampus dengan kepala tegak sambil berfoto
memakai baju Toga. Tapi tentu berhutang sama temanpun perlu adanya agunan
(jaminan). Tidak seberapa dari nilai pinjaman saya, tapi barangnya sulit
dicari; buku Nietsczhe: Also Sprach Zharathustra-kemungkinan seperti itu
tulisannya.
Belum selesai masih ada
PR sebelum pulang, mencari Ketua Kajur saya yang cantik dan murah hati, khusus
yang kedua tergantung mood beliau. Hanya untuk mendapatkan tanda tangan
pengesahan judul proposal skripsi yang jauh-jauh hari saya buat dengan
mendarah-darah, beberapa malam suntuk yang hanya ditemanai rokok dan kopi serta
berbagai macam referensi pendukung proposal tadi. Alhamdulillah, proposal tadi
disetujui juga dengan meminta saran terlebih dahulu kepada Sekretaris Jurusan; Ibu Yessi yang manis perangainya dan baik hatinya, kataku.
Dalam perjalanan pulang
dari fakultas, saya mampir terlebih dahulu di KOPMA, hendak pamit kepada
seseorang, bagiku, seperti bidadari penyelamat-maaf tak sebutkan nama.
Sambil berbicara sebentar dan dia sedang mengerjakan data pendukung laporan
pertanggungjawabannya sebagai pengurus.
Adzan dzuhur
berkumandang, saatnya pulang sambil packaging barang-barang bawaan yang
selayaknya dibawa pulang serta tak lupa; pakaian kotor.
Tepat jam 1.30 PM Bagian
Barat Waktu Indonesia
saya menunggu mobil metro mini, kalau saja yang kutunggu adalah Bis, saya akan
bernyanyi dalam hati dengan sedikit perubahan kata sekolah menjadi metromini,
berikut syairnya:
Metromini
yang kutunggu-kutunggu tiada yang datang
Kutelah lama
berdiri-berdiri, menanti-nanti
…. “lanjutkan sendiri
syairnya”
(Koes Plus-Bis Sekolah)
Memang terasa kesal
menunggu itu, bukan karena membuang waktunya, tetapi
itulah kawan, yang datangnya lama sekali datang. Astaghfirullah...
Aku
menggumam dalam hati. Benar saja, sekian lama menunggu hampir dua
jam, mobil metro mini 512 yang setengah bagus chasing, body, dan
mesinnya itu, tidak
pernah mau menjemput
saya di Halte UIN Jakarta menuju terminal Pulogadung.
Mungkin Anda bertanya,
kenapa tidak menggunakan Bis lain? Ke Lebak Buluskan bisa, kenapa mesti
jauh-jauh ke Pulogadung? Ada
bis lain di Ciputat juga menuju Indramayu? Kenapa tidak naik dari Blok M
kemudian berlanjut ke Pulogadung? Kenapa? Mengapa? Bagaimana Anda bisa seperti
itu? Maumu apa sebenarnya Syauqi?
Pertanyaan
seperti dalam mencari berita, 5W+1H tanpa unsur tadi, berita bukan dikatakan
berita hanya sekedar peristiwa yang menceriitakan secercah informasi bukan
kekayaan data dan fakta dan layak diinformasikan dengan nilai-nilai tertentu
yang disyaratkan.
Arrgh, sumpung kataku
pertanyaan seperti itu. Saya anggap wajar pertanyaan-pertanyaan tadi, Anda
sekalian tidak tahu, jadi saya angap wajar saja.
Saya jelaskan, untuk
menghemat biaya naik dari Pulogadung lebih murah, bedanya hampir 15
ribu dibandingkan dari Lebak Bulus atau Ciputat, meskipun kelas ekonomi tapi bis disana bebas, enak,
sedikit nyaman, meski
dibarengi dengan lalu lalang pedagang asongan yang menjajakan barang
dagangannya dengan silat lidah yang mantap dan bisa meluluhkan konsumen di bis.
Terus, penumpang bis disana tidak begitu neko-neko, Anda merokok, tidur,
ngopi, kaki berselonjor, nongkrong di tempat duduk tidak ada yang melarang,
disamping terjamin keamanannya-karena yang punya adalah The King of Street
pantura setelah Bis Luragung, juga bis dari pulogadung melewati pas depan
rumah saya yang biasanya bis-bis rute Jakarta-Pekalongan dan sebaliknya,
Jakarta-Kuningan yang begitu juga sebaliknya tidak melewati Karangampel dimana
itu adalah daerah saya, bis-bis tadi kebanyakan mampir melalui Jatibarang dan
Palimanan. Di daerah Celeng adalah batas pembeda pemotong jalan bis-bis
dari-selain-Pulogadung.
Selanjutnya saya akan
kisahkan perjalanan melewati Karawang, Subang, dan sepanjang Pantura dimana
lika-liku inspirasi lagu Remang-remang berawal dari situ.
Kalau
Anda keluar dari Tol Cikampek, yang Anda lalui awalnya kabupaten Karawang dan
setelahnya Subang. Tepat setelah melewati gapura perbatasan dan jika Anda
melintasi pada pukul 21.00 malam akan
terlihat jelas di daerah Patok Besi, Subang, tempat para wanita yang
dalam keadaan tertentu memperkenalkan tubuhnya dengan menor dan dibaluti make up tebal serta pakaian yang memikat
orang yang memandang, sekali mengumbar rayuan: ”Mas, mampir dulu sini, dijamin
terbuai lemas”, dua tiga pria dijamah.
Saya
hanya melintas, tidak mampir, karena hanya melintas jadi persepsi saya tentang
wanita-wanita tadi tidak bisa dikatakan benar secara keseluruhan, adapun jika
benar, itu hanya kebetulan. Benar berarti bisa sungguh-sungguh benar atau benar
karena kebetulan, tetapi betul tidak seluruhnya benar, karena betul hanya
kebetulan belaka dan masih harus dicari kebenarannya dengan seksama sebelum
menyimpulkan suatu dampak dari apa yang terjadi setelah dianalisis terlebih
dahulu secara ketat.
Katakan
saja wanita tadi: pelayan pria. Saya tidak berani menyebutnya pelacur. Pelacur
dikatakan menjual diri secara sengaja karena meraih suatu sebab-sebab tertentu
untuk kepentingan pribadinya dengan melakukan tindakan-tindakan di luar
keseharian kita yang biasa-biasa saja dalam pergolakan hidupnya guna meraih apa
yang menjadi tujuannya. Lantas kata apa yang tepat buat wanita tadi? Pelacur
tidak pas. Anda ini bagaimana Qi?
Saya
tidak akan begitu detail membahasnya, persilahkan massalah kata itu kepada ahli
etimologi.
Di
Patok Besi, dengan dandanan yang seksi dan mempertontonkan bagian atas yang
menonjol kepunyaan si wanita dan paha mulus tampak terlihat jelas diantara
mereka. Asap rokok, minuman beralkohol setia menemani diantara pelayan pria dan
pria yang berkebutuhan seks. Masalah ini jangan dikaitkan dengan agama, kita
tinjau dari perspektif sosiologi budaya masyarakat sekitar dan dihubungkan
dengan variabel lain seperti; ekonomi, sosial, kebutuhan mendesak, lapanagn
pekerjaan dsb.
Saya
merasa tertegun hatinya melihat kejadian tadi, meskipun dalam kaca mata yang
jauh-dalam arti saya hanya melintas bukan mampir-yang dalam kaidah penelitian
menjadi kurang afdhol kalau kita tidak meneliti secara detail dengan kaidah
kualitatif yang berujung pada observasi, wawancara dan terjun ke lapangannya
langsung, sangatlah kurang. Itupun belum selesai jika sampel, data, populasi
tidak memenuhi pengujian tertentu. Saya hanya berhipotesis bukan menyimpulkan
dengan memberikan sebuah pernyataan bahwa pelayan pria tadi amoral.
Pelayan
pria bukan bedebah, jadah atau kata umpatan yang kotor buatnya. Dia terpaksa
dan dipaksa, bukan atas keinginan luhur, kenapa begitu? Tanyakan kepada mereka,
pasti jawabannya sama ketika ada pertanyaan: apakah dalam hati kecil Anda mau
bekerja seperti itu? Serempak pasti menjawab: tidak!
Mereka
hanya ingin bertahan hidup, mereka ingin menghidupi anak, sanak saudara dan
orang-orang yang ditanggung kebutuhan hidupnya olehnya. Dengan jarangnya
lapangan pekerjaan yang membuka lowongan baginya dan selektifnya pemilihan
pekerjaan di negara ini membuat mereka mengambil jalan lain dari kita. Menjual
diri secara terpaksa. Katerampilan tidak punya, kualitas menjadi seoroang
pendaftar lowongan pekerjaan tidak mencukupi, lantas apa yang dijual kecuali
tubuh, tubuh, tubuh. Biar badan menggigil setiap hari, biar tubuh ringkih
dinaikin beberapa pria bertubuh kekar, dia tetap tidak mengeluh untuk mencari
sambungan hidup syukur-syukur dari kegiatannya bisa menyambung hidup barang
satu-dua hari berikutnya.
Adalah
pekerjaan ini lebih baik dari mengkorup uang yang bukan menjadi bagian darinya.
Dengan
hanya beberapa menit mata saya terus beranjak, menengok, melintas ke bagian
tempat tadi. Setelahnya tiba-tiba hilang karena mata memandang daerah lain
dengan laju bis yang cukup cepat.
Saya
hanya mampu bertutur sampai sini saja, saya tidak ingin kejadian yang saya
alami diketahui oleh orang banyak dalam perjalan pulang kerumahnya. Cukup
sampai disini, cukup dengan berakhir cerita tentang pelayan pria.
Dan
seketika juga saya menghilang dari para pembaca tulisan ini.
Jum’at 20 Januari 2012
0 comments:
Post a Comment