Last but not least; kesimpulan menyeluruh atas penelitian tadi.
Pages
Sunday, December 25, 2011
Sarjana Labil
Last but not least; kesimpulan menyeluruh atas penelitian tadi.
Sunday, December 18, 2011
Ambang Batas
Friday, December 2, 2011
Beasiswa dan Lika-likunya
Thursday, December 1, 2011
Sepi Sunyi Senyap
Ada Setan dalam Teknologi
Monday, November 7, 2011
Sekali Waktu Kita Tenggelamkan SC
Sunday, October 30, 2011
Ku Antar Kau Ke Pasteur
Sudah saatnya impian Alfian Wibowo menjadi mahasiswa terkabul, 11 tahun ditambah satu tahun menganggur hingga menunggu kembali Ujian Penerimaan Mahasiswa Baru, sebelumnya ia gagal. Hawa dingin menggigil menyongsong kedatangan kabar itu, saat mentari terbit tertutup awan putih tanda hujan segera turun.
Cuaca pagi itu tak seperti biasanya, bulan Juli bukan termasuk bulan jatuh hujan. Perubahan iklim membuat musim di wilayah Indonesia sulit diprediksi, biasanya bulan yang berakhiran; ber, seringnya hujan, dan di bulan selain akhiran itu tampak muncul hawa panas, kemudian kemarau.
Palembang, tempat dimana Alfian kecil hidup sampai beranjak umur 19 tahun.
Padang ilalang persawahan satu-satunya aset kepunyaan ayahnya, disitulah sumber menafkahi segala aktivitas hidup istri dan dua anaknya. Alfian anak pertama, dipundaknya impian sang ayah termaktub, anak pertama menjadi pembimbing adik kecil manis berumur 13, menuju gadis. Keluarga sederhana bersahaja, mandiri, tidak pernah berharap sesuatu apapun dari belas kasih orang lain sebelum mereka sendiri bisa melakukannya, dalam menghadapi hidup.
Ujian tahun kedua penerimaan mahasiswa baru ia lulus. Tampilan koran media nasional memuat pengumuman ujian penerimaan itu, namanya terdaftar di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (UNPAD) Bandung. Bandung dipilih karena suasana iklimnya hampir sama dengan di Sumatera, sejuk.
Cerahnya hati menyambut ketika ia lulus ujian, sumringah, disertai sumpah serapah meluap-luap hingga orang disekitarnya menganggapnya aneh. Ketidakpeduliannya akan orang sekitar tak membuatnya merasa bersalah, baginya, impiannya tercapai bagai mendapatkan buah di musim kemarau, sulit tumbuh untuk menghidupi dirinya sendiri. Tapi Alfian berhasil mendapatkan buah itu, buah kerja kerasnya selama ini.
Diberikan kabar baik itu kepada orang tuanya, persiapan biaya kuliah setahun sebelumnya sudah tersedia dalam genggaman tabungan keluarga untuk pendidikan anak-anaknya yang di simpan di Bank atas nama ayahnya. Seminggu setelah kejadian itu ia harus meninggalkan kampung halamannya, hanya sementara, sebentar.
Di sebuah wilayah yang membuat dirinya sampai seperti ini, ia ditantang dalam pengembaraan hidup, pengalaman dalam memaknai kehidupan yang mandiri.
Hidupnya berasal dari keluarga sederhana, bersahaja dan mandiri. Akankah nilai-nilai hidup itu bisa bertahan di Bandung nanti? Mengingat gaya kehidupan di sana berbeda dengan di daerah, kehidupan yang keras, saling samar saling serang, bantah dan bantai bukan hal yang tabu, apalagi halal dan haram, tidak begitu jelas membedakannya. Hal itu masih terngiang dalam benaknya sampai sebelum ia berangkat ke Bandung.
Dengan diiringi doa kedua orangtua tercinta, keberangkatannya pun langsung ditemani ayah dan adiknya sampai ke terminal Bis antar kota antar propinsi.
Keputusan pergi ke Bandung menggunakan bis merupakan pilihannya, agar ia tahu lingkungan di setiap daerah yang dilintasi. Wilayah yang dilewati yakni sekitar Bengkulu, Lampung, sebelum melintasi luasnya Selat Sunda menuju Pelabuhan Merak.
Dalam perjalanan di Lampung, ia melewati berbagai daerah. Di kanan kirinya hijau persawahan menyambut kedua bola mata hitamnya, berdecak kagum akan bumi yang subur di sekitar pesisir laut Lampung. Dalam perjalanan darat itu ia bisa melihat Pondok Pesantren Gontor, cabang Kalianda, yang luas. Pesantren yang mempunyai dedikasi tinggi bagi sarana keilmuan Islam dan umum di Indonesia. Banyak lulusannya menjadi tokoh nasional negeri ini, dan sukses. Mereka meraihnya bukan karena lulusan Gontor semata, tapi kerja keras dan kedisiplinan yang dipelajari di dalamnya membuat pola pikir para santri itu benar-benar tertata dengan baik, disamping amalan ilmu lain, sebuah ajaran yang diberikan ialah alat, alat itu adalah bahasa.
Lepas melintas daerah Lampung yang terkenal dengan Way Kambasnya, ia segera memasuki gerbang perahu mesin. Kapal Very membawa penumpang beserta mobil besar, truck, yang diangkut untuk lepas landas dari pelabuhan Bakauheni menuju pelabuhan Merak, propinsi Banten, memasuki pulau Jawa, meninggalkan Pulau Sumatera di ujung sebelah barat Indonesia.
Sesampainya di dermaga pelabuhan Merak, sekelebat ia masuk kembali ke dalam bis yang sebelumnya berdiri dalam kabin kapal melihat hamparan laut yang begitu luas, banyu biru air laut memancarkan perbedaan air dengan di daratan. Teriknya matahari tidak membuatnya berpindah tempat, tetap berdiri di ujung kabin sambil merasakan hembusan angin laut Selat Sunda .
Merak, adalah pelabuhan transit bagi mereka yang ingin berkunjung ke daerah Jawa. Pulau Jawa yang di ujung paling barat berhadapan dengan Merak dan ujung timurnya Ketapang, Banyuwangi.
Pintu kapal Very dibuka, Bis yang ia tumpangi melaju di daratan.
Perjalanan menuju Bandung melewati wilayah propinsi Banten dan Jakarta. Setelah memasuki daerah Banten, kini Jakarta ia lalui, pusat Ibu Kota Indonesia. Kemudian berganti Bis di terminal Lebak Bulus jurusan Jakarta-Bandung menuju terminal Leuwipanjang.
Bis jurusan Bandung melintasi Tol Cipularang (Cikampek-Purwakarta-Padalarang), jalan bebas hambatan dan salah satu akses cepat menuju Bandung. Perjalanan memakan waktu sekitar dua jam. Kita bisa melihat disana curamnya daratan, samping dan kiri kita kala di dalam Bis. Kewaspadaan bagi para penumpang harus benar-benar di tingkatkan, sebelum bahaya menghadang. Tingginya dataran pegunungan membuat jalan yang dilewati berbelok-belok, curah hujan tinggi bisa membuat tanah di sepanjang jalan Tol itu longsor, tanah masuk ke jalan raya, memotong akses jalan tersebut. Alfian bisa melihat dalam perjalanan menuju Bandung di sebelah kirinya lewat kaca Bis, sebuah jalan rel kereta api yang sangat tinggi ditopang beton besi yang sangat kuat membuat takjub mata polosnya. “Tidakkah khawatir para penumpang kereta ketika melintasi rel tersebut”, ucapnya dalam hati.
Sampailah ia di daerah Bandung, sebelum melakukan registrasi pendaftaran mahasiswa baru, ia menelpon saudaranya disana, kebetulan tidak jauh dari kampus UNPAD, di daerah Setia Budi ia berdomisili.
Rehat sejenak sambil merebahkan badan setelah menempuh perjalanan dari Sumatera. Di rumah saudara dari pihak ayahnya itu ia bersantai ria, sambil menikmati udara bersih dekat Lembang, yang letaknya tidak jauh dari situ. Dia mengurungkan niat untuk registrasi hari itu juga, memulihkan tenaga adalah alasannya, masih ada waktu empat hari lagi sebelum berakhir, dan hari itu juga ia bertanya-tanya akses jalan menuju kampus, menggunakan angkot apa dan berapa ongkos yang ia keluarkan kepada saudaranya itu.
Besoknya ia melakukan registrasi sambil mencari tempat indekos buatnya, di daerah Sekeloa dekat Gazibu.
Gazibu, suatu tempat depan kampus UNPAD Dipati Ukur (DU). Seringnya di akhir pekan banyak dilakukan acara-acara, entah itu konser musik atau lomba atraksi kendaraan bermotor, bahkan setiap hari minggu bazar mingguan dilakukan di situ, dengan harga yang sedikit miring dan banyak juga koleksi barang bekasnya. Pakaian pun banyak, dari mulai kebutuhan rumah tangga dan mahasiswa, semuanya lengkap. Di depan monumen Gazibu kita bisa melihat lapangan Gazibu yang berhadapan langsung dengan sebuah gedung Tua, kokoh, tempat pemerintahan propinsi Jawa Barat, gedung tua penuh eksotik berdiri sejak zaman Belanda dulu. Gedung Sate.
Alfian adalah mahasiswa Jurusan Hukum, statusnya sekarang, di kampus UNPAD DU. Bedanya dengan kampus UNPAD Jatinangor ialah, hanya dua fakultas saja yang berada di DU, Hukum dan Ekonomi. Selebihnya di Jatinangor. Kelas Pasca Sarjana pusatnya ada di DU. Karena DU dekat dengan pusat kota, terkadang mahasiswa yang belajar di Jatinangor indekos di daerah DU, ini strategi agar ia bisa berakses ria di pusat kota Bandung. Untuk menuju Jatinangor bisa dilakukan dengan menggunakan Bus Damri yang setiap saat mengangkut penumpang dan stand by depan kampus UNPAD DU melewati Tol Cileunyi sebelum memasuki Kampus Jatinangor.
Untuk menambah sarana keilmuannya, Alfian pun masuk dan aktif dalam organisasi kajian hukum yang disediakan fakultasnya, guna membuat mahasiswa hukum bisa belajar dan mengaplikasikan teori yang didapatkan di bangku perkuliahan.
Sampai suatu ketika ia bertemu dengan adik kelasnya, sama seperti ia, mengambil jurusan Hukum. Kala itu ia takjub dengan perempuan manis, cerah wajahnya dan saat pertama kali bertemu di lembaga kajian hukum itu, mahasiswi muda, bertudung abu-abu dengan mententeng Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Didekap buku itu erat-erat. Saat pertemuan pertama itulah hati Alfian sumringah, hatinya berasa sejuk kala melihat wanita itu, wanita manis yang bertudung abu-abu.
Secepatnya ia mencari-cari informasi tentangnya, dicarinya dengan bertanya-tanya kepada temannya, tak satupun ia dapatkan. Kemudian ia bertanya kepada bagian administrasi tempat kajiannya berlangsung. Ia mendapatkan nama dan nomor ponselnya hingga ia sendiri berbunga-bunga akan kedapatannya itu.
Langkah-langkah startegis pun dimulai.
Bagaimanapun caranya ia harus bisa berkenalan dengannya, ia berpikir dan terus mengupayakan bagaimana ia harus tahu dirinya, tentang dirinya. Moment itu datang, ketika bulan Ramdhan tiba. Ia mengirim pesan pendek lewat ponsel, ucapkan selamat menyambut Ramadhan, dimana hal itu adalah suatu pertama kalinya pembukaan sebelum perkenalan lebih lanjut.
Dengan awal mula seperti itu ia sekelebat bisa berkenalan dengannya, saling membalas SMS dan kedekatannya begitu akrab, meski Alfian merasa sedikit tidak percaya diri ketika berhadapan dengannya.
Saat perasaan terpendam dalam diri Alfian dituangkan dalam sebait cinta, katakan cinta lebih tepatnya. Tanpa tedeng aling-aling ungkapan penuh rasa sayang dan cinta pun diberikan kepadanya. Memang terlalu cepat ia bertindak hingga yang didapati jawaban menunggu.
Saat sedang mengendarai sebuah motor hendak memotong rambut, tiba-tiba pesan SMS masuk, berasal dari perempuan itu, perempuan yang dicintainya, Raisyah Lutviani. “Mohon maaf Ka, sebenarnya saya juga punya perasaan sama dengan mu, kagum. Tapi, saya tak bisa melakukan hubungan sebagaimana remaja lain melakukannya, mungkin untuk kali ini kita berteman saja dahulu, sampai suatu waktu kita bisa menjalin hubungan yang Kakak maksudkan, mohon maaf kiranya jawaban ini kurang begitu memuaskan”, tulisnya dalam sebuah pesan.
Tubuh yang selama ini kuat, hati yang selama ini kokoh, secepat tiba-tiba rentah tak bertuan, hampir saja meluluh lantakkan jiwa Alfian, jiwanya yang kokoh tiba-tiba rapuh dalam sekejap mendengar jawaban itu, na’as, sungguh remuk redam.
Tapi apa boleh buat, perasaan cinta, penerimaan cinta, tidak boleh dipaksakan sampai mengotori cinta itu sendiri dengan memaksanya. Cinta ialah nasib bukan takdir, ketika cinta dikatakan nasib, ia bisa berlabuh ke siapa saja, tidak terbantahkan. Rasa cinta tak semestinya takdir, karena perasaan cinta tidak bisa diatur, ia mengatur dirinya sendiri dan mendekap kepada orang yang mencari cinta. Ketika cinta itu nasib, tanda tidak ada yang menghalaunya, mencegahnya, untuk berlabuh kemana cinta itu, meski Tuhan sekalipun. Sedangkan jodoh berarti takdir, kalau penganut agama biasanya mengatakan takdir Tuhan, jodoh ada dalam genggaman-Nya.
Yang dialami oleh Alfian adalah cinta, yap! Cinta sedang berlabuh kedalam sanubarinya. Mencintai seseorang. Cintanya ada, namun belum berbalik arah yang dicintainya. Ia tetap menjaga cinta itu, menjalin hubungan baik dengan yang dicintainya, untuk tidak kabur, hilang ditelan waktu.
Saking hubungan dekatnya dengan Raisyah, Alfian malahan semakin cinta. Mentalnya ciut kala bertemu, apalagi berbicara sepatah kata di depannya. Penuh dengan ketidakseluruhan yang tidak biasa di miliki olehnya. Tapi tetap dan tidak berubah, yang dicintanya belum datang, Raisyah belum bisa membalasnya.
Hingga suatu kejadian pun muncul.
Raisyah bercerita kepada Alfian, tentang siapa saja pria yang mencintainya, yang pernah mengatakan hal yang sama seperti dirinya. Semuanya ditolak, sama seperti yang dialami olehnya. Sampai pada suatu waktu Alfian mendengar dari mulut Raisyah sendiri kalau Raisyah punya rasa kagum dengan seseorang, tetangganya.
Susanto nama itu, orang yang dikagumi Raisyah, perawakannya putih, tinggi, sedikit berisi. Begitu dekatnya rumah ia dengan Raisyah membuat Susanto sering berkunjung ke rumahnya. Sesekali untuk bersilaturahmi, bertemu dengan Raisyah. Tapi perasaan Susanto belum sepenuhnya diketahui oleh Raisyah, apakah ia mempunyai perasaan kagum yang sama seperti Raisyah alami. Memang, ada suatu kekuatan yang menghantarkan Susanto mendekatinya, namun belum terbukti dengan benar, apakah ia berkunjung untuk bertemu dengan Raisyah atas kehendaknya sendiri atau dipaksa oleh Ayah Susanto agar tidak mengingat lagi bekas pacarnya dulu, meninggal di daerah Bogor dalam suatu kecelakaan mobil.
Bisa jadi itu benar, Ayahnya berusaha sedemikian rupa agar anaknya tidak memikirkan kejadian dulu, yang membuat Susanto pilu, mengingat masa lalu yang tragis. Susanto keturunan Jawa, kita tahu budaya jawa adalah budaya anutan, penurut dan patuh kepada yang di atas. Sekarang, hal ini dialami oleh Susanto, meski ia tidak lahir di Jawa, namun budaya itu masih ada dan terbawa oleh Ayahnya, walaupun hanya terkontaminasi. Ia harus patuh dan menurut apa kata orangtuanya. Demi menjaga tradisi.
Sebelumnya Alfian tidak percaya akan hal itu, dengan rasa kagumnya Raisyah kepada Susanto. Tapi ketika Alfian melihat dengan matanya sendiri mereka berjalan di kampus, dan terbukti Susanto berjalan dengannya. Guna menjaga hubungan baik dengan Raisyah, Alfian pura-pura tidak tahu dan tidak mengabarkan kepada Raisyah bahwa ia melihatnya berjalan bersama Susanto, sampai dengan sendirinya Raisyah bercerita kepadanya kalau Susanto mengantarkannya ke kampus.
Sungguh sayang seribu sayang, mereka bertiga bergelut dalam perasaan cinta. Bukan cinta segitiga, tapi cinta yang melibatkan tiga orang. Alfian mencintai Raisyah dan Raisyah menunggu cinta Susanto. Kisah tiga orang ini begitu mempesona, Alfian yang begitu dekat dengan Raisyah dan keduanya saling tahu satu sama lain belum bisa merasakan rasa cinta itu bersama-sama, namun Raisyah lebih memilih Susanto yang belum tahu menahu akan kedalaman sifat Raisyah. Tapi Susanto sampai sekarang belum mengungkapkan cinta itu, entah tidak cinta, belum, atau ia tidak bisa mencintainya, mengingat kekasihnya dulu, atau jangan-jangan ia memiliki perasaan kepada perempuan lain di tempat kerjanya. Di bagian farmasi salah satu perusahaan obat-obatan.
Kita tidak tahu Tuhan berpihak kepada siapa, semoga saja Tuhan menakdirkan bukan memberikan nasib, sehingga ketiganya bisa diketahui siapa pasangan siapa, siapa jodohnya siapa.
Agar tidak berlarut dalam kesedihan dan menghiba-hiba. Alfian mencoba belajar menerima itu, menerima segala keputusan yang diambil Raisyah kemana cintanya berlabuh. Dengan melakukan seperti itu baginya kegalauan itu berkurang, kegelisahan yang melanda selama ini sedikit demi sedikt ia lupakan dan menganggap Raisyah seperti teman sendiri bukan sebagai pasangan hidup, meski baginya sulit.
Ku antar kau ke Pasteur.
Dalam setiap perjalanan pulang ke rumahnya di Pasteur, ia mencoba menyembunyikan perasaan cemburu ketika Raisyah bercerita masalah Susanto. Di Pasteur, melewati Jembatan Pasopati dari arah Lapangan Gazibu, ia mengantarnya dan Raisyah menyudahi cerita itu, cerita tentang Susanto. Tapi perasaan cemburu itu tak hilang, sampai hari berikutnya.
Saturday, October 22, 2011
Setitik Keajaiban, Segumpal Amarah…
Asem! Waktu begitu cepat, apa anggapan aku yang keliru, melihat waktu berlalu tanpa meminta dulu kepadaku untuk izin. Seminal mungkin menyapa “hei Hasan, aku mau berganti waktu, siap-siap”. Terlalu berleha-leha atas semuanya, aku tak mau jadi orang yang merugi. Apalagi bangkrut gara-gara waktu. “Ayo cepat, terlambat 10 menit, cepetan ke kampus!” ucapku dalam hati.
Bangun tidur tampak begitu lesu tak ubahnya wajah kumal, bekam dan sedikit berlumuran kotoran air mata, menempel di pojok kanan dan kiri mataku, tampak begitu cair hingga tisu putih terbesit noktah warna hitam kecil melekat di sekitarnya.
Aku tak ingin, tak mau namaku terpampang kembali di standing banner depan jurusan tekhnik informasi, berdiri tegak memanjang, membuat mata seseorang tertuju kepadanya. Hasan Budi Prasetyo itu namaku, di atasnya tertulis; “mahasiswa di atas semester 12 harap menyelesaikan studinya paling lambat satu semester”. “Mampus”, kataku. Itu beban.
Cepat-cepat tanpa berpikir panjang dari bangunya mata ini di pagi hari, menuju toilet yang penuh dengan wangi aroma-sedikit-tak sedap ciri khas habitat laki-laki lasut. Sikat gigi berpasta mengkilat ku gosok-gosok disekitar gigiku yang banyak berlubang hingga membuat peluang beberapa binatang-binatang kecil bisa menjalar kemana-mana disekitar mulut. Sayangnya, masih bisa terkendali sampai tak ada yang berani menjalar di sekitar gigi berlobangku.
Badan bekas olahraga semalam penuh dengan daki-daki yang melekat tebal di bagian tubuhku, terutama badan bagian belakang. Tak peduli, biarkan saja daki-daki itu masih menempel bak lem karet, melekat. Hingga perlu tenaga penuh untuk menghilangkannya, tapi tak peduli, bodoh amat. Yang terpenting, secepat mungkin aku keluar dari toilet yang punya aroma wangi tak sedap itu.
Bukan wangi tak sedap saja aku berkelebat keluar dari toilet, ini masalah waktu, aku tidak ingin membuangnya hanya dengan berlamaan di dalamnya.
Terlambat 10 menit sebelum masuk toilet Ujian Tengah Semester (UTS) 13 menjadi beban, tingkat akhir semesterku sekarang ini, sekali terlambat tidak ubahnya kemunduran waktu, penundaan waktu untuk keluar secara terhormat dari kampus ini.
Segala upaya aku meminimalisir keterlambatan agar bisa masuk kelas UTS dan menyelesaikan soal dengan waktu yang cukup lama. Ahh, go go go. Keluar dari toilet, pakaian kemarin sengaja ku gunakan, bau baju tercampur keringat basah muncul dari ketiak-ketiak dan bau badan tidak membuatku minder. Kuteruskan. Saking buru-buru mengejar keterlambatan, gubrak, secara tak sengaja aku terpeleset akibat percikakan air yang tak kusudahi setelah mandi, masih menetes di atas lantai, membuatku terjatuh.
Sialan! Ada saja cobaan yang menghadang, berbagai hal membuat keterlambatan ini menjadi bertambah. Sulit untuk dihindari, seolah-olah ada yang membuatku seperti ini, terlambat bangun, terpeleset, lupa pasang alarm. Manusia memang tak berkehendak, tidak punya daya upaya membantah, menerima nasib seperti itu. Disini kuasa Tuhan menunjukkan diri.
Bodoh amat, dengan memakai baju bekas kemarin, rambut sengaja dibiarkan tak tersisir rapih, semrawutan, semuanya tak ku urus, tidak ada waktu untuk narsis depan cermin datar yang terpampang berdiri di dinding kamarku.
Berdandan? ahh, tak jadi soal. Dari pada membuang waktu lagi. Pekerjaan itu ku urungkan, biarkan sehari ini penampilanku sedikit slengean, semrawutan, hanya bersandang pakaian kemarin dan sepatu tebal khusus naik gunung, saking terburu-burunya, sampai-sampai tali sepatu lupa ku ikatkan, hingga ponsel genggam layar touch screen ikut lupa terbawa. Terobos saja, berjalan cepat-cepat dan terburu-buru, mengejar waktu, mengurangi keterlambatan masuk kelas UTS.
Dag dig dug dag dig dug bunyi detak jantung bertransformasi menjadi lebih cepat, tidak seimbang seperti dalam keadaan normal. Huuuff, keringat bercucuran, serasa lebih cepat dengan berjalan seperti itu hingga sampailah di gerbang pintu masuk kampus. Na’as, fakultasku berada dipojok, paling ujung lokasi kampus, perkara itu belum selesai, masih banyak jalan terjal berliku, kelas UTS sekarang berada di paling atas gedung fakultas, lantai tujuh, lantai terakhir, 704, dekat toilet.
Napasku tersendak-sendak, kuraba kantong celana sebelah kanan, tak ada barang, kantong sebelah kiri, sama. Kucari-cari sambil berjalan di semua kantong dan dalam tas, tetap. Tidak ada satupun barang bentuk kotak. Sekelebat ingatanku pulih, jancuk! Ponsel tertinggal di kamar. Aduuuh, ada-ada saja. Aku takut ada yang kirim pesan, melihat jadwal, ruang, waktu kuliah. Untung saja ruang kelas dan jam kuliah masih teringat. Jadi, tak masalah untukku.
Tiba depan fakultas langsung masuk lobi menunggu turunnya lift, apes, sial, Shiit. Lift bergerak ke atas bukan kebawah, kalau menunggu berasa lama. Hingga aku berinisiatif menerjang, melangkah dan berlari menaiki tangga yang berputar-putar-tak karauan-menuju lantai tujuh.
Cucuran keringat bertambah, bajuku basah. Nafas lagi-lagi tersendat, terlalu cepat, hingga ku upayakan berhenti sejenak. Untuk merebahkan badan, melepaskan otot-otot tegang. Mengumpulkan kembali nafas yang terbuang cepat, oksigen banyak yang keluar layaknya berdiam diri rebahan di bawah pohon. Nyatanya hanya sekejap, untuk mengejar waktu, ku kejar kembali dengan berlari. Sesampainya di lantai tujuh depan kelas kejadian di luar prediksi sangat menyesalkan buatku, menusuk hati, membuat hati ini menjadi remuk dan segumpalan amarah memuncak penuh syahwat. Kata-kata umpatan keluar dari mulutku ini, sialan, brengsek, bedebah, kurang ajar. Sambil masih mendengar ocehan dari teman-teman mahasisawa junior ku yang ngebacot:
“Emang abang ga bawa ponsel, aku kan smsin semuanya ke anak-anak kalau Pa Jauhari itu g masuk dan UTSnya di undur minggu depan”. Tampang lesuh kemusuh ku dapatkan saat itu juga. Kampret!
About Me
Makian Ku!
- Cerpen (6)
- Ekonomi (2)
- Life (43)
- Mati Ketawa Cara Rusia (1)
- Puisi (7)
- Resensi dan Sinopsis (3)
Serba-serbi Nawawee
Statistik
Populum
-
Rok kebaya menggelantung sedikit menyentuh tanah, sekelompok wanita memakainya, diiringi jas gaya eksekutif muda terpakai oleh seorang pri...
-
Ponsel saya bergetar, tanpa suara, dan getarannya sebentar. Tanda pesan masuk dari seorang teman, kesimpulannya begini: “apa kabar ki, ayo...
-
Serah terima, dua kata yang sering kita dengar dalam percakapan sehari-hari. Dalam berbagai kondisi kita menemukan hal tersebut, dalam sit...
-
Sisa ketoprak tinggal potongan satu lontong, langsung kusudahi, teman disamping, saya ucapkan pamit, ada yang harus saya kerjakan pada jam...
-
Aquarium Ramadhan ini teringat kisah dulu, saat Ayahku membelanjakan Aquarium berukuran sedang, seukuran kardus minuman gelas. Kotak ...