Sunday, December 18, 2011

Ambang Batas



Mungkin juga bagi Anda, mempunyai ketakutan akan sesuatu, entah hanya dengan melihatnya, memegangnya, merasakannya, atau apapun. Sebagaimana yang pernah dialami olehku, saya bisa langsung merumuskan ketakutan itu terbagi berapa, memang tidak serta merta perumusan ini bisa digeneralisasikan kepada manusia pada umumnya, disebabkan pengalaman setiap orang berbeda, baik itu keadaan waktu yang mengiringi atau dalam ruang yang berlainan.



Takut menurut saya ada dua, rasa takut berlebihan dan takut akan sesuatu tapi tidak terlalu takut. Anggap saja takut pertama takut akut dan kedua takut biasa. Takut akut lazimnya orang memberi nama fobia, takut biasa lebih diarahkan ke sifat parno. Memang sengaja saya membaginya agar lebih mengena dan mudah dimengerti biar ketika dibicarakan suguhannya berkemas menarik.

Kita mulai dari parno. Parno terkandung sifat takut didalamnya. Takutnya tidak berlebih secara membabi buta hingga untuk memilikinya pun serasa menghindar. Semisal begini, jika Anda berjalan di sebuah gang arah jalan rumahmu, di sekitar jalan tersebut banyak sekali para pencopet, penodong dan kaum-kaum jahat yang siap mengutil apa saja yang Anda miliki, dan jalan itu adalah jalan utama dan satu-satunya menuju rumahmu. Lantas, timbul perasaan takut padamu untuk melewatinya, apesnya, jalan itu akses satu-satunya ke rumahmu, jika Anda tidak melewatinya tentu keberadaanmu tidak sampai di rumah. Oleh karena itu segala upaya dilakukan meski rasa takut mengada padamu. Takut biasa tadi bermotif mengiringi-berdampingan-yang tidak bisa dihilangkan namun tetap ada.

Kedua, takut akut. Namanya juga akut, pasti lebih-lebih, kadang bisa ditolong, itupun jika beruntung, karena ramalan-ramalan kerugian berjangka pendek akan menyertai sampai keakutannya hilang. Penyakitnya akut! Menandakan berlapis-lapis penyakit itu ada, rasa sakitnya menguat dan membebani hingga si empunya kewalahan dalam menghadapi yang akut tadi. Dua kata bermakna merugi, rugi tidak bisa melakukan apapun karena rasa takut itu dan merugi sebab takutnya berlevel tinggi yaitu akut. Selebihnya sebuah contoh, jika seseorang takut akan ketinggian, untuk menapaki lantai demi lantai gedung bertingkat tinggi dan ketika berada pada titik puncak ketinggian itu serta dari ketinggian tadi matanya menilik ke bawah dan melihat bahtera isi di bagian dasar hingga membuat perasaan takut berkecamuk menghampiri lalu kemudian ketidakmauan untuk melakukanya lagi-melihat ke bawah dari atas ketinggian-yang membuat sisi ketakutan timbul dan terbayang setelahnya. Nah, takut berlebih atau akut seperti itu.

Sudah saya kemukakan di atas, pembagian rasa takut bukan melegitimasi secara keseluruhan terhadap semua orang. Ini pendapat pribadi yang dialami sampai sekarang lewat pengalaman hidup saya. Saya yakin dan bisa juga sama dan tidak dengan apa yang Anda pikirkan terkait masalah ini, sejatinya pengalaman kebatinan orang berbeda dengan yang lain. Oleh karena itu jika ada pertanyaan yang ditunjukkan kepadaku: bagaimana dan apa takut itu? Lebih tepat pertanyaan tadi seperti ini: bagaimana dan apa yang Anda ketahui tentang takut? Atau bagaimana dan apa menurut pengalaman Anda takut itu? Penilaian atas pertanyaan ini sifatnya subjektif dan jika sama atau percis dengan yang dialami Anda sekalian, itu hanya sebagian saja tidak dalam koridor kebulatan penuh yang dialami oleh setiap orang.

Tidak begitu lama, kemarin tanggal 13 Desember, saya dan teman saya melakukan perjalanan menuju GKJ (Gedung Kesenia Jakarta). Ada rasa ketakutan dalam perjalanan itu, bukan kurang bensin dan tidak mempunyai se-cengpun duit yang ada di kantong, tapi apa dan dengan apa saya mengendarai dan membawa sesuatu; motor dan gas elpiji.

Sedari dulu saya takut akut akan gas elpiji, bukan dalam bentuknya. Namun, segi-segi isi yang terkandung pada sebuah kaleng besi berberat berbeda satu sama lain. Paling ditakuti ialah, pemasangan gas elpiji ke kompor gas. Sampai detik ini ketakutan untuk memasang gas ke kompor gas masih terasa dan menyakitkan bagiku. Melihatnya saja agak ngeri apalagi sampai memasangnya. Ketika menghadapi pemasangan gas, terngiang tanpa henti dalam imajanasiku peledakan yang terjadi disebabkan oleh gas yang bocor dan ketidaktepatan pemasangan mengakibatkan peledakan yang bisa melukai orang disekitarnya. Meledak, membakar dan menghanguskan bagi korban yang mengalaminya.  Ketakutan itu muncul dikarenakan pandangan saya yang selalu negatif pada gas elpiji ketika melihat berita-berita kebakaran yang disebabkan meledaknya gas elpiji di teve. Sampai saat ini kefobiaan terhadap gas (khusus untuk kompor gas) masih kumiliki. Pernah pada suatu ketika ayah saya marah dan mengamuk dan sempat adu mulut denganku dikarenakan saya tidak mau disuruh untuk memasang gas elpiji ke kompor gas, jangankan untuk memasangnya, membuka katupnya pun saya menolak, akhirnya bibi saya yang kebetulan ada sewaktu itu datang membantu memasangkannya, dan saya menghindar seberapa jengkal untuk menjauhi pemasangan gas elpiji tadi.

Ih ngeri, dalam bayanganku ketika melihat proses tadi, terbayang melulu ledakan dahsyat yang timbul akibat pemasangan gas yang salah akibat ketidakbecusan, ketelodoran pemasangan dan pelindung katup tidak bagus terhadap proses pemasangan tadi. Tapi anehnya ketakutan tadi tidak berlaku jika saya memakai kompor gas  untuk memasak sesuatu apapun yang saya inginkan. Dalam kejadian ini ketakutannya berkategori parno, dan yang di awal tadi ketakutan akut.

Saya bingung, apa yang harus dilakukan untuk menghilangkan ketakutan akut dan parno tadi. Dipaksa atau dituntun?, disengaja atau diperdaya? Mana yang lebih pas bagiku untuk meninggalkan sejauh-jauhnya ketakutan tadi? Semoga parno dan fobia ini tidak berlaku bagi Anda.





0 comments:

Post a Comment