Mungkin juga bagi Anda, mempunyai ketakutan
akan sesuatu, entah hanya dengan melihatnya, memegangnya, merasakannya, atau
apapun. Sebagaimana yang pernah dialami olehku, saya bisa langsung merumuskan
ketakutan itu terbagi berapa, memang tidak serta merta perumusan ini bisa
digeneralisasikan kepada manusia pada umumnya, disebabkan pengalaman setiap
orang berbeda, baik itu keadaan waktu yang mengiringi atau dalam ruang yang
berlainan.
Takut menurut saya ada dua, rasa takut
berlebihan dan takut akan sesuatu tapi tidak terlalu takut. Anggap saja takut
pertama takut akut dan kedua takut biasa. Takut akut lazimnya
orang memberi nama fobia, takut biasa lebih diarahkan ke sifat parno. Memang
sengaja saya membaginya agar lebih mengena dan mudah dimengerti biar ketika
dibicarakan suguhannya berkemas menarik.
Kita mulai dari parno. Parno terkandung sifat
takut didalamnya. Takutnya tidak berlebih secara membabi buta hingga untuk
memilikinya pun serasa menghindar. Semisal begini, jika
Anda berjalan di sebuah gang arah jalan rumahmu, di sekitar jalan tersebut
banyak sekali para pencopet, penodong dan kaum-kaum jahat yang siap mengutil
apa saja yang Anda miliki, dan jalan itu adalah jalan utama dan satu-satunya
menuju rumahmu. Lantas, timbul perasaan takut padamu untuk melewatinya, apesnya, jalan itu akses satu-satunya ke
rumahmu, jika Anda tidak melewatinya tentu keberadaanmu tidak sampai di rumah.
Oleh karena itu segala upaya dilakukan meski rasa takut mengada padamu. Takut
biasa tadi bermotif mengiringi-berdampingan-yang tidak bisa
dihilangkan namun tetap ada.
Kedua,
takut akut. Namanya juga akut, pasti lebih-lebih, kadang bisa ditolong, itupun
jika beruntung, karena ramalan-ramalan kerugian berjangka pendek akan menyertai
sampai keakutannya hilang. Penyakitnya akut! Menandakan berlapis-lapis penyakit
itu ada, rasa sakitnya menguat dan membebani hingga si empunya kewalahan dalam
menghadapi yang akut tadi. Dua kata bermakna merugi, rugi tidak bisa melakukan apapun
karena rasa takut itu dan merugi sebab takutnya berlevel tinggi yaitu akut.
Selebihnya sebuah contoh, jika seseorang takut akan ketinggian, untuk menapaki
lantai demi lantai gedung bertingkat tinggi dan ketika berada pada titik puncak
ketinggian itu serta dari ketinggian tadi matanya menilik ke bawah dan melihat bahtera
isi di bagian dasar
hingga membuat perasaan takut berkecamuk menghampiri lalu kemudian ketidakmauan
untuk melakukanya lagi-melihat ke bawah dari
atas ketinggian-yang membuat sisi
ketakutan timbul dan terbayang setelahnya. Nah, takut berlebih atau akut
seperti itu.
Sudah
saya kemukakan di atas, pembagian rasa takut bukan melegitimasi secara
keseluruhan terhadap semua orang. Ini pendapat pribadi yang dialami sampai
sekarang lewat pengalaman hidup saya. Saya yakin dan bisa juga sama dan tidak
dengan apa yang Anda pikirkan terkait masalah ini, sejatinya pengalaman
kebatinan orang berbeda dengan yang lain. Oleh karena itu jika ada pertanyaan yang
ditunjukkan kepadaku: bagaimana dan apa takut itu? Lebih tepat pertanyaan tadi seperti ini: bagaimana dan apa
yang Anda ketahui tentang takut? Atau bagaimana dan apa menurut pengalaman Anda
takut itu? Penilaian atas pertanyaan ini
sifatnya subjektif dan jika sama atau percis dengan yang dialami
Anda sekalian, itu hanya sebagian saja tidak dalam koridor kebulatan penuh yang
dialami oleh setiap orang.
Tidak
begitu lama, kemarin tanggal 13 Desember, saya dan teman saya melakukan
perjalanan menuju GKJ (Gedung Kesenia Jakarta). Ada rasa ketakutan dalam
perjalanan itu, bukan kurang bensin dan tidak mempunyai se-cengpun duit yang ada di kantong, tapi apa dan dengan apa saya mengendarai
dan membawa sesuatu; motor dan gas elpiji.
Sedari
dulu saya takut akut akan gas elpiji, bukan dalam bentuknya. Namun, segi-segi
isi yang terkandung pada sebuah kaleng besi berberat berbeda satu sama lain. Paling
ditakuti ialah, pemasangan gas elpiji ke
kompor gas. Sampai detik ini ketakutan untuk memasang gas ke kompor gas masih
terasa dan menyakitkan bagiku. Melihatnya saja agak ngeri apalagi sampai
memasangnya. Ketika menghadapi pemasangan gas, terngiang tanpa henti dalam
imajanasiku peledakan yang terjadi disebabkan oleh gas yang bocor dan
ketidaktepatan pemasangan mengakibatkan peledakan yang bisa melukai orang
disekitarnya. Meledak, membakar dan menghanguskan bagi korban yang
mengalaminya. Ketakutan itu muncul
dikarenakan pandangan saya yang selalu negatif pada gas elpiji ketika
melihat berita-berita kebakaran yang disebabkan meledaknya gas elpiji di teve. Sampai
saat ini kefobiaan terhadap gas (khusus untuk kompor gas) masih kumiliki.
Pernah pada suatu ketika ayah saya marah dan mengamuk dan sempat adu mulut denganku
dikarenakan saya tidak mau disuruh untuk memasang gas elpiji ke kompor gas,
jangankan untuk memasangnya, membuka katupnya pun saya menolak, akhirnya bibi
saya yang kebetulan ada sewaktu itu datang membantu
memasangkannya, dan saya menghindar seberapa jengkal untuk menjauhi pemasangan
gas elpiji tadi.
Ih ngeri,
dalam bayanganku ketika melihat proses tadi, terbayang melulu ledakan dahsyat
yang timbul akibat pemasangan gas yang salah akibat ketidakbecusan, ketelodoran
pemasangan dan pelindung katup tidak bagus terhadap proses pemasangan tadi. Tapi
anehnya ketakutan tadi tidak berlaku jika saya memakai kompor gas untuk memasak sesuatu apapun yang saya
inginkan. Dalam kejadian ini ketakutannya berkategori parno, dan yang di awal
tadi ketakutan akut.
Saya
bingung, apa yang harus dilakukan untuk menghilangkan ketakutan akut dan parno
tadi. Dipaksa atau dituntun?, disengaja atau diperdaya? Mana yang lebih pas
bagiku untuk meninggalkan sejauh-jauhnya ketakutan tadi? Semoga parno dan fobia
ini tidak berlaku bagi Anda.
0 comments:
Post a Comment