Sunday, August 21, 2011

Pria yang Sering Memakai Topi


Hidup bukanlah sekedar cas-cis-sus dari sebuah telegram yang berasal dari pabrik, ada halnya dalam hidup perlu perjuangan akan perang kejumudan meskipun dengan perasaan dag-dig-dug dalam menghadapinya. Namun, untuk melangkah maju diperlukan kegigihan menghadapi teror mental dari segala bentuk yang menghalangi kita untuk maju, dalam hal apapun dan merdeka atas penjajahan di semua lini kehidupan kita.

Penggalan kata miring di atas bukan hanya pelengkap dari sebuah kalimat, namun selangkah lebih jauh ialah karya seorang penulis yang akan saya tulis dalam tulisan ini.

Pada mulanya berdecak kagum, pada sebuah karya seorang, dan hasil ciptanya membuat saya bersedia mengagumi akan sosok dan hal yang terkait dengannya, termasuk tulisannya.

Decak kagum saya gambarkan disini untuk seorang asal Bali. Lulusan Jurusan Hukum UGM Yogyakarta yang menaruh minat besar dalam hal sastra. Dari mulai cerpen, novel, monolog dan karya lainnya. Banyak pesan yang didapat, salah satunya pesan human. Pribadi yang teguh dan punya nilai budaya ini memiliki kecintaan pada kebudayaan yang memasuki kehidupannya, meskipun berbeda dengan almamater akademisnya.

Seorang yang sering memakai topi putih jenis pet yang jarang dilepas ini merupakan ciri khas tersendiri baginya, hal itu sebuah kekhasan agar mudah diingat dan ketika seseorang melihat topi itu di toko-toko pasti merujuk kepadanya.

Perkenalan pertamaku-meski tidak mengenal secara pribadi-dengan melihat obrolannya di salah satu stasiun televisi swasta, dibicarakan pengalaman hidupnya sampai ia berjumpa dengan dunia lain, dunia yang penuh dengan kemerdekaan akan imajinasi yang bukan berbentuk mutlak secara fisik-meskipun ada: teater-namun lewat dunia pena.

Dari karya tulisnya saya membaca-meskipun baru baca sedikit-buah karya yang diciptanya, mulanya sebuah cerpen yang dalam setiap isinya ada sebuah pesan damai, motivasi, makna etika, etiket, dan penyengat untuk kita sadari kesemuannya itu, menurut saya ide-idenya berasal dari pengalaman hidup dan apa yang dilihat panca indera atau dari imajinasi liarnya.

Bagi seseorang membaca karya sastra terkadang sulit untuk dipahami, serasa membaca Zarathustranya Nietzsche. Sastra mempunyai arti dari setiap kata dan mempunyai makna dari setiap arti. Penjelasan hasil karya sastra sedikit sulit dipahami makna yang dikandungnya, teka-teki dari setiap kata membuat kita berfikir. Memang tidak semua karya sastra tidak sulit untuk dipahami, namun demikian karya-karya seperti Anton Chekov, Pramoedya Ananta Toer, Sitor Situmorang, Goenawan Mohammad, Iwan Simatupang, Sartre, Albert Camus dan semacamnya agak sedikit susah untuk kita telaah. Bisa dimengerti tapi dengan proses sedikit lebih lama dibanding soft reading.

Nah, karya orang yang sedang kita bicarakan ini sedikit berbeda. Karyanya bisa diminati oleh siapa saja, anak-anak, remaja ataupun yang uzur. Ia tahu mana celah yang baik agar karyanya bisa dinikmati oleh siapa saja tanpa melihat batas umur seseorang.

Ketika saya menjadikan dirinya sebagai tanda Suka pada Facebook saya, saya melihat ada seseorang (saya katakan penggemar beratnya) menulis di wall Facebook penulis itu dengan girang. “Asik, ia datang di sekolah SMP ku di Medan”. Jelas sekali penggemarnya tidak serta merta kalangan di atas remaja, kalangan anak SMP juga banyak yang kagum. Apalagi kalau bicara cinta.

Ia seorang penulis yang produktif, sekedar menyebut lagi; cerpen, novel, monolog, dan naskah teater. Adalah mungkin mengatakan bahwa ia adalah penulis yang lihai dan punya nilai ciri khas sendiri dari produksinya.

Banyak tulisannya dimuat di surat kabar atau majalah ibu kota. Kalau dimajalah, tulisannya sering mampir di rubik bahasa, sedang pada surat kabar rubrik cerpen dimuatnya. Lelaki paruh baya ini kalau kita cermati tak kenal lelah, usianya memang sudah tua, namun semangat dalam hidup tidak luntur akan keumurannya. Ketika ia berbicara, muatan semangatnya masih muncul, paras yang bergelora dan tak kenal lelah, kita bisa lihat.

Bukan hanya dari segi tulisannya ia berjaya, dalam hal teater pun ia punya. Pendiri Teater Mandiri ini sering menjadi pemain, penulis naskah, dan pernah menjadi sutradara film yang artisnya ialah bintang kawakan meskipun ia baru pertama kali menyutradarai. Sekarang ia membintangi salah satu film anak-anak Serdadu Kembang.

Karyanya sering mendapat penghargaan, telegram, stasiun, pabrik, cas-cis-cus, teror mental adalah sebagian karyanya. Saya ingin mencari hasil ciptanya, bukunya terdapat di banyak penerbit, baik diterbitkan di tahun lama atau yang paling baru, meskipun untuk mengoleksinya agak sedikit sulit, proses pencarian masih berlangsung sampai saat ini.

Rumahnya di sekitar Cirendeu, Tangerang Selatan. Kata sebagian orang tempat tinggalnya luas dan banyak orang yang berdatangan, sekedar silaturahmi atau bermain teater. Memang dekat dengan indekos saya di Ciputat, tapi saya belum pernah menginjakkan kaki di rumahnya. Di lain waktu saya akan mampir, dan mengobrol, melihat kepribadiannya yang selama ini hanya lewat tulisan dan televisi.

Putu Wijaya, Sang Teroris Mental, setitik informasi tentangnya dalam tulisan saya ini.

Tuesday, August 16, 2011

Permulaan dari Diri Kita untuk Perubahan itu!


Kain yang disambung itu dijahit untuk dikibarkan, dijahit bukan dengan mesin, tapi dengan tangan.

Seputar proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 penuh dengan rentetan yang rumit, adanya perselisihan siapa yang patut menandatangani naskah proklamasi, diculiknya Sang Proklamator sehari sebelumnya, sampai masalah Bendera Sang Saka Merah Putih.

Hari kemerdekaan tahun ini hampir mirip situasinya 66 tahun silam, kalender bulan masehi atau bulan hijriah sama keadaannya di bulan puasa, dan berbarengan dengan Nuzulul Qur’an.

Banyaknya cita dari para founding father belum terealisasi. Ada namun tak sepenuhnya, kelas menengah ke atas yang menang banyak, dan yang proletar terhempas seperti angin lalu.

Kemerdekaan yang diberikan dari dulu sampai sekarang hanya sebatas seremonial, ada rasa merdeka tapi hanya bertahan sebentar saat 17 agustus salah satunya. Kalau kita kaitkan cita-cita kemerdekaan dengan realitas sekarang, 66 tahun Indonesia kita merdeka bukan dalam bentuk ranah Negara yang ada di dalamnya tapi sebatas merdeka berdiri sebuah negara-dipantara, nusantara-Indonesia. Merdeka atas relung bidang ekonomi belum tercapai, sosial, pendidikan, hukum apalagi. Kemerdekaan atas kepentingan kelompok, keculasan akhlak yang durjana, dan kerakusan akan uang yang ada sekarang.

Berbagai masalah seperti ini jika didiamkan saja akan menimbulkan gemuruh ombak yang dashsyat menerjang daratan, sehingga pondasan kukuh yang telah dibuat akan terbuang percuma yang sedari dulu dicita-citakan pendiri bangsa ini.

Rasa pesimis muncul dalam benak masyarakat kita adalah akumulasi perasaan yang timbul akibat gejolak ini, memang betul kita tidak boleh pesimis akan hal ini, namun perselingkuhan cita-cita ini sampai kapan? Apakah kita hanya menunggu kesatria koboi datang memperbaiki problematik negara ini? tentu tidak, bukan?

Perlu kiranya rasa optimis itu muncul, kalau untuk membersihkan yang paling ideal dari atas ke bawah, sedangkan untuk perubahan memperbaiki masalah alangkah baiknya dimulai dari bawah ke atas sebelum memperbaiki negara kita tentunya.

“Andaikan yang pertama-tama kuubah adalah diriku, maka dengan menjadikan diriku sebagai panutan, mungkin aku bisa mengubah keluargaku....negara...dan dunia. Itu adalah Epitaph sebuah makam di Westminster Abbey, Inggris 1100 M, yang kesimpulannya memberikan manfaat salah satu cara untuk perubahan dimulai dari yang kecil-bawah-ke yang besar-negara dan dunia.

Yang kecil disini diartikan perubahan pada diri manusia itu sendiri, baik dalam hal etika dan pendidikan, karena dari kedua hal itu pembentukan karakter terbentuk. Kalau dari kedua hal itu saja tidak dioptimalkan maka yang terjadi bukan perubahan untuk bangsa ini, yang ada hanya menambah pusing kepala saja. Tentu proses ini tidak semudah menghirup nafas, perlu waktu dan dukungan dari semua pihak yang ingin bercita-cita memperbaiki negeri ini, agar permasalahan yang dihadapi bisa di atasi.

Melihat kondisi pemuda sekarang sebagai bibit dasar untuk generasi mendatang sangat bertolak belakang dengan keinginan program perubahan itu, banyak dari pelajar sendiri dari segi moral terkontaminasi oleh hal-hal yang bersifat hedonisme. Menghamburkan uang saku yang diberi, berperilaku diluar kodratnya, tawuran antar pelajar. Sikap seperti ini harus dirubah dan dikembalikan ke jalan yang lurus.

Pelajar, khususnya mahasiswa yang sudah dikatakan cukup umur untuk memulai perubahan ini seringkali terkontaminasi hal-hal yang tidak semestinya. Banyak dari mahasiswa yang paham akademis namun miskin intelektual, stylish dalam berpenampilan tapi fakir dalam berperilaku, penuh gaya ketika menuju kampus tapi tidak mengilhami isi Tri Dharma Perguruan Tinggi.

Apakah patut dicontoh tindakan seperti itu? Tentu tidak, bukan? Mahasiswa sebagai agen perubahan seharusnya bisa menjadi panutan bagi dirinya, dan ketika ia mampu membenahi dirinya niscaya orang yang disekitar akan menjadikannya sebagai panutan, jika hal semacam ini dilakukan oleh kebanyakan pelajar khususnya mahasiswa, niscaya ilham dan dorongan dari sekitar akan timbul perubahan itu.

Lika-liku menjadi Negara yang sejahtera memang banyak batu kerikil, namun batu kerikil jangan dijadikan sebagai batu sandungan, ubahlah batu sandungan menjadi batu loncatan menuju Indonesia Baru, Indonesia yang penuh makna, Indonesia yang penuh harapan menggapai cita-cita kita semua.

Selamat berumur 66 negaraku!

Monday, August 15, 2011

PERUBAHAN NASIB


PERUBAHAN NASIB

Perangainya membuat tak menentu, kadang kelaki-lakian dan sedikit kemayu, 24 umurnya sekarang. Mukanya terlihat putih, bukan karena perawatan, ruangan yang ber-AC membuatnya seperti itu, tak tersentuh banyak debu, kurangnya matahari menyinari wajahnya.

Pencatat penjualan-kasir-salah satu mini market buatan Malaysia disitu dia bekerja, dahulu dia datang ke kota dengan tangan hampa, sekarang kehampaan itu sirna. Artinya, dia sudah berkepemilikan.

Awalnya kisah kehidupannya rumit, kendala ekonomi pemicunya. Dua saudara kandungnya di kampung, masih sekolah. Satu SD dan yang bontot masih menetek. Kehidupan keluarganya tidak berkecukupan, ayahnya bekerja serabutan, ibunya jobless dan hanya menunggu kedatangan suami selepas senja tiba. Masak ala kadarnya, kehidupan terhimpit miskin, terserempet utang banyak. Dalam bahasa Badan Pusat Statistik keluarga semacam itu dikategorikan menengah kebawah. Hidup mengambang tak menentu dan terdampar dalam lubang kemiskinan.

Suatu keadaan bisa berubah oleh adanya waktu atau sudah ditakdirkan perubahan itu. Adanya waktu; menandakan waktu perubahan itu terjadi dan takdir Tuhan sebagai pengubahnya. Dulu dia datang bersama teman yang sudah kuliah disini, dia diajak. Awalnya menjadi karyawan produk makanan Pop Corn di kampus, melayani mahasiswa yang membutuhkan jajanan. Tak seberapa uang yang didapat, cukup untuk membayar uang kos dan makan keseharian.

Kerasnya hidup baginya tak seberapa, kehilangan semangat hidup merupakan ketakutannya. Tak gentar dalam menghadapi hidup, menerjal kerikil tajam kehidupan, ia lakukan. Tanpa kenal lelah, apalagi pesimis. Sifat dalam dirinya seperti itu, sekarang, masih ada.

Menjadi karyawan di kampus, setiap hari berseliweran mahasiswa-mahasiswi, sedikit membuatnya jenuh, namun apa hendak dikata, melalui adalah jalan terbaik, bukan menghindar apa lagi menjauh dengan tidak menjadi karyawan lagi.

Satu-satunya yang membuat dia terhibur ialah kehidupan kampus, saat kejenuhan melanda, didapati mahasiswi cantik lalu lalang didepannya, terus dia pandangi, kadang memperhatikan lebih seksama. Mahasiswi molek menjadi sasaran matanya, melihat tanpa berkedip, itulah satu-satunya yang menghibur. Tiap hari, sampai suatu saat kejadian-kejadian itu tak terulang lagi, berganti tempat, berganti pekerjaan pasalnya.

Akumulasi kejenuhanpun muncul, keniatan berhentipun timbul, jenuh dalam bekerja, jemu dalam hidup. Disamping gajinya yang kecil, tidak mencukupi apalagi kelebihan uang, dia tak dapatkan. Beberapa hari menganggur, membaca koran kegiatan yang sering dilakukan, disamping agar tidak kehilangan berita, dia juga mencari informasi penting, perihal lowongan kerja.

Membaca koran menjadi rutinitas, lembar rubrik dalam koran tak pernah luput dibaca, sampai suatu saat dia menemukan dalam koran itu; “Dibutuhkan kasir untuk ditempatkan di daerah Bintaro...”. Berita lowongan pekerjaan salah satu mini market buatan Malaysia.

Kesempatan itu tidak dibuang percuma, dia menelusuri bersama teman, mengantarkannya ke tempat yang dituju, dengan menulis formulir pendaftaran dan adanya tes sebelum bekerja.

Tahapan-tahapan tes dia ikuti, ada lima tahap yang harus dilakukannya agar lolos. Setiap tes langsung diberikan pengumuman, apakah para pelamar kerja lolos atau tidak. Dia sendiri lolos sampai tahap ke empat. Tahapan kelima dia ikuti, bermunajat malamnya sebelum tes dilakukan. Alhamdulillah, dia dikatakan lolos.

Proses selanjutnya; karantina, diajarkan oleh bagian Human Resourch Development tentang prosedur perusahaan, dari mulai masalah pencatatan barang, penjualan, penghitungan transaksi, sampai pengajaran mesin kasir tidak luput dari proses karantina tersebut.

Dia yang tak tahu apa, menurut saja. Sebagai calon pekerja yang masih dikarantina dia menurut, tunduk pada atasannya. Membangkang adalah pantangan baginya.

Beberapa bulan setelah karantina, dia ditempatkan disalah satu outlet mini market, sesuai kebutuhan perusahaan ritel itu, di Bintaro. Bintaro tidak asing baginya, dulu dia pernah berkunjung saat masih menjadi karyawan jajanan kampus.

Semangatnya yang kuat, kini berbuah hasil, gajinya sebulan melebihi UMR (Upah Minimum Regional) yang diterima, belum bonus atas penjualan yang lebih, tambahan jika dia kerja lembur. Bosnya, tertarik akan dirinya, kagum akan profesionalitasnya, senang akan kejujuran dan kerja kerasnya. Kedekatannya membuat dia dianggap anaknya sendiri.

Gaji yang dia terima sekarang sudah cukup, bahkan lebih setelah dipotong biaya hidup dan indekos. Kelebihan uang dari gajinya, dia tabungkan, bahkan kadang uang lebihnya dikirim kepada keluarganya di kampung, menambal hidup keluarganya dan sedikit membantu keperluan adiknya, untuk sekolah SD dan membeli susu bervitamin buat adiknya yang bontot.

“Sungguh anak yang berbakti”. Ujar teman kerjanya.

Sunday, August 7, 2011

Untuk Yang Datang Sabtu Sore Kemarin...


Pertemuan mempunyai arti adanya suatu pihak dan pihak lain bertemu, kegiatan yang dilakukan dalam setiap pertemuan tergantung momen yang didapat. Ambil contoh hari sabtu kemarin. Pertemuan anggota KOPMA (Koperasi Mahasiswa) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan para senior atau alumni-yang sudah mendahului kita dalam beratnya belajar dikampus ini, membicarakan seputar KOPMA, pribadi antar orang yang dikumpulkan lewat acara Pelantikan Staff Anggota dan Dialog Anggota KOPMA serta Buka Puasa Bersama.

Momen tersebut disamping membahas masalah KOPMA-kekinian-juga terdapat obrolan antar lintas generasi yang dipandu oleh pengurus KOPMA. Yang didapat dalam acara tersebut bukan hanya obrolan sepintas yang lalu lalang sehingga sehabis acara hanya tinggal bekasnya saja, bukan itu. Tapi dalam sebuah pertemuan itu adanya obrolan yang selanjutanya dapat ditindak lanjuti oleh orang-orang yang ada di dalamnya, khususnya pengurus KOPMA sekarang. Perihal masalah laptop, pengkaderan, usaha dan sebagainya.

Kongkow ini menandakan arti fungsi pertalian hubungan antar manusia yang dipertemukan oleh waktu, Ramadhan ialah waktunya. Wejangan senior lebih kita terima sebagai pesan penting yang patut diapresiasi, menandakan masih adanya kepedulian akan institusi ini.

Berbagi pengalaman dengan mereka membuat isi otak kita bertambah, karena saya yakin mereka semua berpengalaman dalam hal apapun, disamping lebih dulu lahir dari kita, mereka juga punya andil kepada KOPMA, semasa kuliah atau ketika menjadi anggota dulu.

Disamping pelantikan staf anggota dan dialog anggota KOPMA serta buka puasa bersama, momen kali dimanfaatkan oleh sebagian orang untuk bercengkrama perihal kesibukan masing-masing, ada yang membahas bisnis, penelitian yang belum kunjung usai, foto-foto bareng dengan berbagai gaya narsis anak muda, bahkan yang membahas pasangan hiduppun ada-maaf saya tidak sebutkan namanya, he.

Kalau kita melihat statistik anggota KOPMA, kadang perasaan ragu muncul. Anggota dan alumni KOPMA banyak, namun yang datang tidak sesuai dengan keinginan pengurus. Apakah mereka yang belum bisa hadir dikarenakan rumahnya jauh dan kesibukan masing-masing? Atau sengaja tidak datang karena malas? Saya punya jawaban atas semuanya itu.

Alasan pertama, mereka tidak sengaja belum bisa hadir karena rumahnya jauh dari kampus, kesibukannya juga penting dan wajib tidak bisa ditinggalkan, misalkan di tempat kerjanya tenaga mereka dibutuhkan dan ketika ditinggalkan berdampak tidak baik bagi perusahaannya. Alasan kedua karena malas, malas berarti kepedulian terhadap KOPMA berkurang, mungkin tidak ada lagi, dan ketika dimintai penjelasan karena ketidakhadirannya bermacam alasan muncul. “Maaf belum bisa hadir, saya sudah pulang kampung, salam buat yang lain”, atau alasan seperti ini, “maafyah belum bisa hadir, soalnya pemberitahuannya mendadak, jadi belum bisa ikut, salam buat yang lain saja yah, sukses terus”.

Kita bisa menilai atas kejadian di atas, mana saja seseorang yang peduli dan tidak dengan KOPMA, acara ini bukan hanya sekedar pertemuan sepintas, namun bagi saya penuh banyak hikmah, kita bisa berbagi info seputar koperasi atau jaringan kerja.

Untuk mereka yang belum bisa hadir, semoga sukses selalu dalam hidup dan karir, saya tidak peduli dengan alasan anda sekalian tidak datang, saya yakin di hati kecil anda masih tersisa dan ada kecintaan pada KOPMA, serta terakhir sebelum tulisan ini usai, anda sekalian yang tidak hadir sedikit beruntung, karena ketika anda hadir nasib kalian sama dengan senior-senior KOPMA yang ditodong oleh resepsionis berisi sebuah amplop kecil berwarna putih dan mereka berucap, “sekalian diisi amplopnya ka, itu untuk sumbangan buat anak yatim-piatu pada acara baksos KOPMA nanti”. he