Bila menjadi sebuah rujukan kuat, mengapa ilmu kehidupan tidak boleh dimasukan dalam referensi sebuah buku. Pada footnoote, kutipan langsung atau disandingkan dalam daftar pustaka bersama penulis terkemuka. Kita mengungkungnya dan memadatkan cangkir tertutup rapat hingga dimasukkan secara paksapun tak ayal bisa.
Referensi ilmu kehidupan berpacu luas dengan kenyataan abadi kehidupan yang dilalui. Na'as memang. Ilmu kehidupan bukan menjadi, malah dilarang, oleh "penguasa ilmiah" ilmu-ilmu modern dan mematokkan frame kewilayahan ilmiah seperti ini, itu, tanpa melibatkan khasanah kehidupan luas. Bila saja terus terjadi, apa jadinya anak-anak bangsa kita.
Coba kita terka, semisal ilmu kehidupan diajarkan diluar bangku kelas dimana para pelajar sudah diberatkan dengan tugas-tugas menggunung, kapan lagi belajarnya. Itu kemerosotan, bahasa kerennya dekadensi. Dekadensi merendahkan ketinggian ilmu, menurunkan nilai-nilai moral, mengucilkan imajinasi dan merobohkan dinding kokoh bernama ajar dan didik. Dengan waktu sempit dan lalu lalang kehidupan ekonomi terjepit. Seharusnya, pemerintah, dalam hal ini, pembuat kebijakan kurikulum harus sadar bertolak dari kehidupan perihal itu. Dengan sedikit demi setitik atau kalau pede langsung saja ikhtisar-ikhtisar kehidupan dimasukkan, include dalam kurikulum setiap pelajaran.
Hanya dengan keberanian bisa terwujud.
Ayo kita analisis satu- persatu dan cobalah kita rendah hati menerima masukan dari orang bodoh ini. Pertama, apa yang saya ketahui ilmu kehidupan yang disampaikan terbilang kurang. Cuma meliputi bidang eksakta dengan praktek-praktek lapangan sambil para siswa bersandar di sebuah tembok sekolah untuk menghela napas karena bosan. Sejauh yang saya ketahui.
Itu terjadi bersama kita. Hadir dalam pendidikan kita yang katanya mencomot anggaran APBN sebesar 20% yang sama sekali tidak menyentuh mutu malah dikorup dana dan waktu oleh berbagai oknum pendidik. Kembali berkaitan isi pertama tadi, sebatas ilmu eksak yang mengkaji ilmu kehidupan sedang percikan ilmu-ilmu diluar itu cuma kosong bagai tonk tak berisi. Saya hanya menghela nafas sambil terlihat jidat mengerucut.
Kedua, ketika ilmu kehidupan diberikan kepada pelajar atau mahasiswa bila diberitakan di kelas berbuah sisipan cerita guru kepada murid agar tidak bosan. Jika diberikan contoh seperti, tulisan saya ini, meluangkan waktu jenuh anda dari berbagai aktifitas.
Catatan ketiga, bila dibuat naskah drama. Didalamnya tidak ada satupun kajian konflik, kesusastraan wangi menghadirkan keberhalaan materi pokok bahkan cenderung diluar realita. Tidak ada konflik berangkat dari realitas isi bumi, dilihat tapi tidak diraba. Berangkat dari buku bereferensi yang bersumber buku-buku lagi, begitulah yang terjadi. Dan sampai sekarang kita memakluminya dengan tangan terbuka sampai tidak enak hati menyela.
Diskursus atau wacana harus benar-benar diwacanakan, dielaborasi jika perlu, diterapkan disetiap pelajaran. Ilmu kehidupan begitu penting, tiap detik, menit, kasus-kasus terbarukan berbeda-beda sedetik sebelumnya. Lihatlah mengapa PSK menjajakkan alat kelaminnya? Dan apakah langsung disebut penyakit sosial. Jawaban seperti itu jawaban teks book tidak out of the book. Dalam konteks tapi di permukaan. Kalau kita sudah belajar ilmu kehidupan meskipun jawaban ini hanya sementara dan bisa berubah pastinya akan dijawab, jika PSK berada dapat ditinjau dari beberapa aspek. Aspek ekonomi seperti sedikitnya lapangan kerja. Aspek sosiologis, hirarki, gosip, sindiran, masyarakat atas masyarakat yang terlihat menganggur tanpa pekerjaan, dst.
Jika, minimal, terapan ilmu kehidupan dijejal ke kurikulum mata pelajaran sekaligus tindakan-tindakan pendukungnya, sedikitnya manfaat bisa diambil, yakni; belajar bahwa kabar alam berubah tiap waktu sedangkan buku dicetak diluar waktu terjadinya dan kabar hari inipun luput tanpa merubah status isi yang terlewat jatuh tempo.
0 comments:
Post a Comment